SEJAK lama, orang-orang di Indonesia membaca novel-novel gubahan John Steinbeck. Pengarang asal Amerika Serikat itu memiliki penggemar paten di Indonesia, yang membaca novel-novelnya dalam bahasa Inggris atau terjemahan bahasa Indonesia. Yang ditulis adalah novel tapi dampaknya sangat besar di Amerika Serikat, berlanjut menghebohkan Indonesia.
Kini, kita mudah mencari beberapa terjemahan novel John Steinbeck yang diterbitkan Pustaka Jaya, Basabasi, Gramedia Pustaka Utama, Bentang, YOI, Kakatua, dan lain-lain. Berapa jumlah penggemarnya di Indonesia? Judul-judul buku John Steinbeck yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia apa saja? Jawabannya ada katalog penerbit, toko buku, perpustakaan, atau kolektor. Yang jelas, John Steinbeck adalah pengarang yang berpengaruh dalam sastra Indonesia sekaligus rujukan bagi para pembaca dalam mengetahui beragam hal terungkap dalam cerita-cerita yang mengesankan sepanjang masa.
Pada suatu hari, John Steinbeck berada di Indonesia. Ia melangkahkan kakinya di tanah Indonesia. Setelah malapetaka 1965, ia mengunjungi Indonesia. Ia tidak bermaksud menulis novel mengenai Indonesia yang ruwet pada masa 1950-an dan 1960-an. Kedatangannya cukup mendapat perhatian besar. Pada 1967, pengarang besar dan peraih Nobel Sastra tiba di Indonesia, setelah novel-novelnya dibaca ratusan atau ribuan orang.
Penyambut yang beruntung bernama Taufiq Ismail. Dulu, ia adalah penggubah puisi-puisi perlawanan dan pendiri majalah sastra yang dinamakan Horison. Sekian hari lalu, Taufiq Ismail mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden RI Prabowo Subianto. Pengarang kondnag yang dianggap berjasa dalam arus sejarah dan sastra di Indonesia. Bintang dberikan saat ia tua, 80-an tahun.
Pada saat masih muda, ia beruntung bisa bicara bareng pengarang dunia. Peristiwa yang tidak sepenting peristiwa politik sedang marak di Indonesia. Kehadiran pengarang dunia biasanya kalah dengan artis dalam industri hiburan atau penguasa dari negara-negara besar. Mengapa yang berbicara bukan Pramoedya Ananta Toer, yang menerjemahkan novel John Steinbeck?
Percakapan John Steinbeck dan Taufiq Ismail dimuat dalam majalah Horison, yang dijadikan sumber oleh PK Ojong dalam menulis kolom di Kompas, 9 Juni 1967. Hasil wawancara ditafsirkan PK Ojong: “Tiran Agung sudah tidak ada lagi, Tapi tiran-tiran ketjil masih banjak jang berkeliaran. Tiran-tiran ketjil jang menggunakan kedudukannja dalam pemerintahan untuk melakukan kesewenang-wenangan. Djadi, kita bukan sadja takut pada kesewenang-wenangan seperti dikatakan John Steinbeck, kita sudah lama menderita karenanja. Karena di masa jang lampau kita tidak memprotes, tapi djustru mengalah, menjesuaikan diri, atau menjilat.” Kedatangan dan omongan pengarang besar itu ikut berpengaruh dalam lakon sejarah dan politik di Indonesia, tidak cuma sastra.
Bayangkanlah elite dan “petualang” politik masa 1960-an setelah kemunculan pihak menang-kalah di titik 1965 memiliki kebiasaan membaca novel-novel! Mereka mungkin sadar bobrok sedang dicipta di Indonesia mengacu tamatnya kekuasaan Soekarno. Mereka berada dalam babak menguasai Indonesia sekaligus mengelabui jutaan orang dengan bahasa dan cerita yang disahkan sebagai perubahan tatanan politik menjadi “baru”. Sanggupkah mereka membaca dan khatam novel-novel yang ditulis John Steinbeck, Ernest Hemingway, George Orwell, dan lain-lain?
Kita sulit menemukan gairah membaca dan menyantap novel-novel dalam lakon Indonesia setelah malapetaka 1965. Orang-orang berebutan kekuasaan dan menghasilkan untung sebesar-besarnya tanpa memerlukan bacaan. Yang berhasil menguasai Indonesia justru dalam agenda pelarangan buku dan melakukan “penertiban” bacaan meski orang-orang masih keranjingan sastra.
Yang mengaku membuat “baru” untuk Indonesia mungkin tidak pernah membaca nasihat pengarang Amerika Serikat yang bernama Henry David Thoreau: “Bila sedikit saja merenungkan tujuan hidup mereka, semua manusia, mungkin akan menjadi siswa dan pengamat karena sifat dasar dan takdir masing-masing menarik bagi sesamanya. Dalam mengumpulkan harta untuk diri kita dan untuk anak-cucu kita, dalam membangun sebuah keluarga atau negara, atau memperoleh ketenaran bahkan, kita adalah makhluk fana tetapi dalam menemukan kebenaran, kita adalah abadi.”
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam buku Walden (2018) itu sebenarnya cara menggoda orang untuk membaca buku untuk mengerti diri, keluarga, negara, dan lain-lain. Pada abad XIX, godaan itu menjalar di Amerika Serikat. Namun, Indonesia tidak lagi digerakkan oleh kaum pembaca seperti masa kolonial setelah malapetaka 1965. Para tokoh enggan menjadi pembaca, memilih berada di kubu penguasa atau kubu modal. Mereka tidak lagi “menanam” buku sebagai fondasi berbangsa dan bernegara.
Jadi, kedatangan John Steinbeck tidak terlalu berpengaruh bagi kaum politik dan pihak-pihak yang bernafsu uang. Pada masa berbeda, Indonesia kedatangan pengarang besar yang meraih Nobel Sastra: VS Naipaul. Yang dilakukan adalah kunjungan singkat dan percakapan bersama beberapa tokoh. Pengarang itu berbeda suara dari John Steinbeck. Yang dulu menanggapi ulah dan pendapat VS Naipaul adalah Goenawan Mohamad, yang disajikan dalam “Catatan Pinggir”.
Para pengarang besar terus berdatangan ke Indonesia, mengikuti jejak yang dulu diadakan oleh Rabindranath Tagore pada masa 1920-an. Pengarang asal India yang meriah Nobel Sastra itu lumayan berpengaruh di Indonesia dalam masalah sastra, pengajaran-pendidikan, politik, dan lain-lain. Rabindranath Tagore berkunjung cukup lama di pelbagai tempat yang ada di Jawa dan Bali. Anehnya, Indonesia tidak memiliki pengarang yang meraih Nobel Sastra meski novel-novel yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman cukup mendapat perhatian ribuan pembaca di pelbagai negara.
Semua yang datang dan telah bicara atau memberi tulisan sedikit atau banyak turut mengisahkan Indonesia, dari masa ke masa. Kita sering kehilangan jejak. Kita telat merenungkannya. Kita malah tidak mampu lagi menghormati mereka sambil menggugat intelektual dan elite politik Indonesia, yang makin menjauh dari kesusastraan. Pada masa sekarang, situasi itu sangat terasakan, berakibat terciptanya “fiksi-fiksi” politik dan keilmuan yang mutunya di bawah roman picisan.
Kita yang ingin cuma merenung mendingan memangku buku berjudul Renungan Indonesia (1947) yang ditulis Sutan Sjahrir. Di renungan bertanggal 6 Januari 1934, Sutan Sjahrir menulis: “Kalau kita bisa hidup sehingga perasaan-perasaan keindahan kita bersesuaian dengan harmonis dengan kehidupan kita selebihnja, maka tahulah kita seninja kehidupan dan sesungguhnjalah boleh kita menuntut hak atas kehidupan, hak atas bahagia. Tapi biasanja kita tidak menuntut hak itu lagi karena kehidupan itu telah kita djalani dan kita sedang mendapati bahagia itu makin lama makin banjak.”
Renungan (tidak) terbaca lagi di Indonesia abad XXI. Orang-orang memilih mencipta Indonesia yang tidak bahagia. Yang berkuasa atau mengolah modal pun makin menghancurkan bahagia lewat ulah-ulah yang memalukan. Pada akhirnya, kita merenung dalam muak sekaligus sulit untuk terus menjadi pembaca buku saat Indonesia adalah tayangan-tayangan di media sosial yang selalu bikin gegeran.
*Kabut adalah nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan sastrawan Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.