AFFAN Kurniawan tak pernah tahu malam itu akan menjadi catatan publik. Ia hanya seorang pengemudi ojek online, yang tubuhnya terhenti di aspal, digilas kendaraan rantis Brimob.
Video beredar. Ada tubuh, ada rantis, ada kerumunan. Lalu diam yang terasa lebih bising dari teriakan massa. Polisi minta maaf. Dari Kapolda, dari Kapolri. Permohonan maaf yang tergesa, seperti bahasa institusi yang harus cepat dilafalkan. Tetapi bagaimana rupa sebuah maaf, ketika yang hilang bukan sekadar rasa, melainkan nyawa?
Demonstrasi hari itu bermula dari kemarahan: kenaikan gaji anggota DPR. Sebuah angka di meja kekuasaan yang diprotes ribuan orang di jalan. Ironinya, ketika wakil rakyat memperdebatkan kesejahteraannya sendiri, seorang rakyat kecil justru kehilangan hak paling elementer—hak untuk hidup.
Kita tahu, Affan umur 21, hanyalah anak kontrakan di sudut kota. Pagi-paginya dimulai dari lampu merah, kopi seadanya, lalu orderan mengantar makanan. Ia tinggal bersama orangtua dan adik yang masih SMP. Bersama kakaknya, ia menyangga ekonomi keluarga.
Malam itu ia sedang mengantarkan pesanan. Ia ingin menyeberang di tengah kerumunan, tetapi terpeleset. Saat itulah Barracuda Brimob menerobos massa—terburu, dan menghantam tubuhnya. Affan roboh, lalu hening.
Video amatir memperlihatkan kendaraan yang sempat berhenti, lalu tetap melaju. Di layar ponsel kita, sebuah tubuh jatuh di antara sorot lampu kota. Negara bereaksi: maaf dari kepolisian, janji investigasi, tujuh personel ditahan. Kata-kata berderet, seakan hendak menutupi jurang yang terbuka. Tetapi keadilan tak lahir dari deretan maaf. Ia lahir dari kesungguhan memberi tempat bagi yang kecil, yang tak punya kuasa, yang hanya mengendarai motor tuanya untuk mencari nafkah.
Affan hanyalah satu di antara jutaan warga biasa yang membuat kota-kota hidup. Hariannya tampak sederhana, bahkan bisa dilupakan. Namun ketika ia pergi, barulah kita sadar: ada paradoks yang getir. Di gedung parlemen, gaji dipertinggi; di jalanan, nyawa dipertaruh.
Keadilan seharusnya hadir sebelum seseorang jatuh. Ia bukan sekadar penyesalan setelah tubuh kaku di pemakaman. Ia mestinya bernafas di ruang-ruang kebijakan, di setiap prosedur pengamanan, di hati setiap aparat negara yang memegang senjata dan kemudi kendaraan.
Kita pun bertanya: apakah hukum kita hanya memanggil nama saat sudah jadi headline? Apakah demokrasi hanya direnungkan di podium, tapi melupakan deru mesin ojol di jalanan? Konstitusi kita menjanjikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi di malam itu, janji itu seperti tertinggal di balik pagar DPR. Yang tersisa hanyalah tanah becek di Pejompongan, seorang pemuda terbaring, dan keluarga yang kehilangan sandaran.
Jangan biarkan Affan menjadi sekadar angka dalam statistik. Namanya harus tetap disebut: sebagai suara, sebagai jeda, sebagai tuntutan. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk tiap rakyat kecil yang membayar ongkos negara dengan hidupnya sendiri.
Dalam keruhnya malam itu dan sunyinya aspal Jakarta, Affan adalah pengingat—bahwa keadilan, terutama bagi rakyat kecil, tak boleh datang terlambat.[]
Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.