Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara menilai ekspansi industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) selama tujuh tahun terakhir menjelma kolonialisme ekstraktif dengan memperluas kerusakan, memorakporandakan bentang ekologi, dan merampas ruang hidup masyarakat di Pulau Halmahera, Maluku Utara.
“Sejak diresmikan, PT IWIP bukan sekadar raksasa industri nikel, tetapi lebih dari itu, ia telah menjelma menjadi kolonialisme ekstraktif yang telah merampok dan menaklukkan Halmahera beserta pulau-pulau kecil lainnya yang mengandung bijih nikel,” kata Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Maluku Utara dikutip dari siaran pers, 30 Agustus 2025.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah 2024-2043, luasan kawasan industri Weda Bay atau IWIP naik tiga kali lipat dari 4.027 hektare menjadi 13.784 hektare. Ekspansi ini merambah sampai Weda Timur dan Patani Barat setelah sebelumnya hanya berada di Weda Tengah dan Weda Utara.
Pemerintah Jokowi memberi karpet merah bagi PT IWIP dengan status proyek strategis nasional (PSN) dan objek vital nasional (OVN) pada 2021. Lalu pada pemerintah Prabowo IWIP masuk prioritas nasional hilirisasi sumber daya alam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
“Ekspansi wilayah IWIP secara besar-besaran ini menunjukkan bahwa watak pengurus negara yang berdiri bersama korporat, bukan bersama warga. Padahal, wilayah di mana IWIP beroperasi tadinya merupakan ruang pangan dan sumber air warga yang kemudian dirampas dan dihilangkan,” jelasnya.
Menurut Julfikar, perluasan industri ekstraktif IWIP telah mencaplok lahan secara besar-besaran, merampas lahan pertanian, sumber pangan, hingga akses air bersih. Warga akhirnya kehilangan cara memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri.
“Akibatnya, warga terpaksa bergantung pada pasokan pangan dari luar wilayah. Ironisnya, mereka harus merogoh kocek demi mendapatkan air bersih–yang tadinya warga bisa mengakses secara cuma-cuma,” jelas Julfikar.
Di Halmahera Tengah, ekspansi PT IWIP disebut telah menciptakan krisis ekologi yang makin akut karena menebar teror yang mengancam keselamatan warga. Laporan Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako (2025) menemukan adanya logam berat (merkuri dan arsenik) dalam tubuh ikan dan manusia. Hal itu mengancam kesehatan warga melalui rantai makanan–termasuk kepada pekerja. Sementara, Narasi (2024) mencatat peningkatan konsentrasi nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) sejak smelter IWIP beroperasi.
Kerusakan yang lakukan IWIP meluas ke Halmahera Timur hingga Papua Barat Daya. PT Weda Bay Nickel–di bawah IWIP–dengan konsesi seluas 45 ribu hektare, menjadi pemasok utama ore nikel. Sementara, pulau kecil seperti Gebe, Fau, dan Gag ikut dikeruk untuk memasok nikel ke smelter IWIP.
Di Halmahera Timur, pertambangan nikel telah menghancurkan sawah dan sungai di wilayah Subaim dan Wasile. Hutan adat di Maba Tengah rusak, sementara Teluk Buli makin dicemari logam berat kromium, nikel, dan tembaga. Operasi tambang-tambang di Teluk Buli didominasi oleh perusahaan pelat merah–yang juga memasok nikel ke IWIP.
Julfikar menilai, semua kerusakan ini dibungkus narasi sesat negara tentang hilirisasi untuk kemajuan ekonomi dan transisi energi. Padahal, yang terjadi sebaliknya, memperdalam krisis iklim global dan merampas hak dasar masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan ruang hidup yang lebih baik.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.