Tujuh tahun beroperasi, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah terus menuai kritik. Aktivitas industri berbasis nikel ini dituding meninggalkan jejak kerusakan ekologis dan sosial yang semakin memburuk.
Warga dan aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara menyampaikan itu saat menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Landmark, Jalan Pahlawan Revolusi, Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, pada Minggu, 31 Agustus 2025.
Aksi ini diikuti oleh warga dari Desa Sagea, Kiya, Lalilef, serta organisasi mahasiswa dari Were dan Mesa.
“Sejak IWIP beroperasi, banyak luka dan jejak kejahatan yang terus terulang bahkan semakin parah,” kata Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara, dalam siaran persnya.
Menurut Julfikar, peringatan tujuh tahun beroperasinya PT IWIP menjadi momentum untuk mengungkap berbagai pelanggaran yang terjadi. Salah satunya, temuan pencemaran logam berat di Teluk Weda.
Berdasarkan laporan Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako yang dirilis Mei 2025, seluruh sampel ikan yang dikumpulkan dari Teluk Weda mengandung merkuri dan arsenik. Selain itu, 47 persen sampel darah warga sekitar kawasan industri IWIP mengandung merkuri, dan 32 persen memiliki kadar arsenik di atas ambang batas aman.
“Sampel itu berasal dari warga Desa Gemaf, Lelilef, dan kelompok kontrol di Ternate,” ungkap Julfikar.
Tak hanya itu, kualitas air Sungai Ake Jira dilaporkan telah melebihi ambang batas baku mutu untuk sungai kelas satu, membuat air tidak layak konsumsi.
Julfikar menekankan permasalahan IWIP tidak bisa dilihat hanya dari operasionalnya di Teluk Weda. Menurutnya, pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera juga terdampak karena menjadi sumber pasokan bahan baku.
“Pulau Gag di Raja Ampat, Pulau Gebe dan Fau di Halmahera Tengah, serta Pulau Gee dan Pakal di Halmahera Timur, semuanya menyuplai ore nikel ke IWIP,” jelasnya.
Karena itu, kata Julfikar, IWIP layak disebut sebagai simbol kerusakan sosial-ekologi di kawasan timur Indonesia.
Julfikar juga menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilainya justru memfasilitasi ekspansi IWIP, alih-alih melakukan pengawasan ketat.
“Dulu luas wilayah IWIP hanya sekitar 4.000 hektare. Sekarang, melalui revisi RTRW, ekspansinya meluas hingga ke wilayah Patani Barat,” ujarnya.
Ia menyebut IWIP sebagai etalase kejahatan strategis antara negara dan korporasi, karena terus mendapat dukungan kebijakan meski dampaknya luas dan merusak.
Meski sering dikaitkan dengan transisi energi dan ekonomi hijau, Julfikar menyebut PT IWIP masih mengandalkan batu bara sebagai bahan bakar utama smelter.
“Sepanjang operasi IWIP, hutan-hutan hilang, udara tercemar, dan mesin-mesin smelter masih digerakkan oleh batu bara. Ini jelas bertolak belakang dengan narasi energi hijau,” tegasnya.
Aksi juga diwarnai kesaksian warga. Rifya Rusdi, warga Desa Sagea, menyebut IWIP telah ‘membunuh perlahan’ kehidupan masyarakat Teluk Weda.
“Hampir setiap hari hutan kami dibabat. Katanya mensejahterakan rakyat, tapi kami yang di lingkar tambang justru makin menderita,” ujarnya.
Senada, Fajrini Masud, warga Desa Lelilef Woebulan, mengenang kondisi sebelum hadirnya IWIP.
“Dulu udara masih segar, mama-mama tanam kasbi, nelayan basoma (menjaring ikan) di laut. Sekarang semua itu sudah hilang,” ungkapnya.
Fajrini juga menyinggung soal rusaknya Sungai Wosia yang dulu menjadi sumber air bersih bagi warga.
“Sekarang sudah tidak boleh dimanfaatkan. Bahkan udara pun sudah tidak bagus,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.