Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tidore Kepulauan tampak berada dalam dilema dalam menanggapi tuntutan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kota Tidore, terkait penghapusan atau penghematan sejumlah tunjangan yang melekat pada anggota DPRD.

Ketidakpastian sikap DPRD ini terlihat saat digelarnya rapat dengar pendapat bersama GP Ansor dan Fatayat NU, yang berlangsung di ruang rapat DPRD Kota Tidore, Selasa, 2 September 2025.

Ketua DPRD Kota Tidore, H. Ade Kama, menyampaikan bahwa DPRD menerima masukan dari GP Ansor dan Fatayat NU, serta bersepakat menindaklanjuti saran yang berkaitan dengan kinerja lembaga legislatif tersebut.

“Soal penghasilan DPRD, sudah kami jelaskan secara menyeluruh mengenai hak-hak yang diterima anggota. Bahkan kami juga telah menandatangani nota kesepahaman berupa pernyataan sikap atas empat poin yang disepakati bersama,” jelasnya.

Namun, mengenai tuntutan penghapusan atau pengurangan tunjangan, Ade Kama menegaskan bahwa hal itu merupakan bagian dari aturan yang berlaku secara nasional.

“Penghapusan tunjangan tidak bisa dilakukan sembarangan karena sudah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, kami akan melakukan kajian bersama, karena ini menyangkut regulasi,” tegasnya.

Sementara itu, juru bicara GP Ansor dan Fatayat NU Tidore Kepulauan, Fandi Muhammad, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap DPRD yang dinilai tidak tegas dalam mengambil langkah untuk efisiensi anggaran.

Menurut Fandi, tuntutan pengurangan tunjangan mencakup beberapa pos besar, yakni tunjangan perumahan sebesar Rp 4,4 miliar per tahun, tunjangan transportasi Rp 3,5 miliar, tunjangan kesejahteraan anggota dan pimpinan Rp 4,5 miliar, dan tunjangan komunikasi intensif untuk pimpinan dan anggota sebesar Rp 3,1 miliar.

“Kami kecewa karena tidak satu pun anggota DPRD yang berani menyatakan sikap tegas untuk mengurangi tunjangan mereka demi kepentingan masyarakat, dengan dalih bahwa semuanya sudah diatur oleh regulasi,” ujarnya.

Fandi menambahkan bahwa meskipun hak-hak DPRD diatur oleh ketentuan, besar kecilnya nominal tunjangan masih merupakan kewenangan DPRD dan Pemerintah Daerah. Karena itu, menurutnya, alasan ketidakmampuan DPRD mengurangi tunjangan sangat tidak logis.

“Awalnya kami minta tunjangan itu dihapus. Tapi karena dianggap tidak memungkinkan, kami ubah tuntutan menjadi pengurangan tunjangan saja, agar anggaran miliaran rupiah tersebut bisa dialihkan untuk kepentingan publik,” jelasnya.

Meski demikian, Fandi tetap mengapresiasi DPRD yang membuka ruang dialog secara terbuka, dan menyepakati empat poin tuntutan, yaitu:

  1. Mendukung dan merekomendasikan ke DPR RI agar segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.
  2. Menolak kebijakan kenaikan pajak yang membebani masyarakat.
  3. Mendorong efisiensi anggaran terkait kunjungan kerja DPRD ke luar daerah.
  4. Mewujudkan transparansi dalam penggunaan APBD antara Pemerintah Kota dan DPRD.

Sementara itu, Ketua GP Ansor Tidore Kepulauan, Jafar Noh, menambahkan bahwa dalam pertemuan tersebut pihaknya sebenarnya mengajukan enam poin tuntutan. Namun, karena terdapat hal-hal yang tidak dapat didesak langsung oleh Pemerintah Daerah, pihaknya memutuskan untuk mencabut salah satu poin, yaitu tuntutan ketiga.

“Kami siap mengawal proses ini sesuai regulasi yang berlaku. Dan kehadiran kami di DPRD merupakan bagian dari kontrol masyarakat terhadap lembaga legislatif. Kami juga merasa diterima dengan baik sesuai fungsi DPRD sebagai wakil rakyat,” ujarnya usai pertemuan.

Jafar menegaskan, pihaknya selanjutnya akan menggelar pertemuan dengan Pemerintah Daerah untuk meminta tanggapan atas kebijakan tunjangan DPRD yang menjadi sorotan publik.