Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Laos diduga membuat pernyataan kontroversial terkait kasus sebelas masyarakat adat Maba Sangaji. Dalam sebuah video di akun media sosial, Sherly tampak menuding warga adat “membakar mobil polisi”, “bawa alat sajam”, dan melakukan “pemerasan”. Tim hukum sebelas warga menyatakan Sherly menyebarkan narasi keliru, menyesatkan, dan tak berdasar.
“Berkaitan dengan sebelas warga Maba Sangaji, sesuai dengan fakta persidangan— disayangkan, saya pun tidak mau itu terjadi, tetapi fakta persidangan membuktikan ada alat tajam yang dibawa, ada bakar membakar mobil polisi dan ada perampasan,” kata Sherly yang beredar di akun media sosial Halmahera Post pada Senin, 1 September 2025.
Pernyataan itu Sherly sampaikan saat menemui massa mahasiswa organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang demonstrasi bubarkan Dewan Perwakilan Rakyat di jalan utama antara Tugu Makugawene dan kantor DPRD Kota Ternate. Salah satu isu yang diangkat peserta aksi mengenai kriminalisasi sebelas warga Maba Sangaji.
Wetub Toatubun, Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) yang mengawal perkara Maba Sangaji, mengatakan pernyataan Sherly bertolak belakang dengan fakta persidangan. Meski menyebut ucapannya berdasarkan “fakta persidangan”, tim hukum mempertanyakan akurasi fakta persidangan yang Sherly ikuti.
Menurutnya, dalam tiga kali persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, tidak ada saksi yang mampu membuktikan tuduhan membawa senjata tajam, apalagi setingkat pembakaran mobil polisi maupun perampasan yang dinilai menyesatkan.
“Dari fakta-fakta persidangan jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan saksi-saksi fakta yang pada poinnya tidak ada yang menjelaskan secara komprehensif dan tidak mampu membuktikan berkaitan dengan pasal-pasal yang disangkakan dalam dakwaan JPU,” jelas Wetub.
Dalam dakwaan JPU, sebelas warga disangkakan pasal berlapis: dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait “membawa senjata tajam tanpa hak”, Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait “merintangi atau mengganggu aktivitas pertambangan”, dan melakukan pemerasan melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Lukman Harun, bagian dari tim hukum TAKI menilai pernyataan Sherly berbahaya karena menggiring opini publik seolah-olah sebelas warga Maba Sangaji sudah terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Gubernur berada di ranah eksekutif, seharusnya tidak mencampuri urusan yudikatif.
“Apalagi menjustifikasi bahwa sebelas warga Maba Sangaji membawa parang, membakar mobil polisi dan melakukan perampasan kepada PT. Position. Ini membuktikan Gubernur Maluku Utara tidak update setiap persidangan, bahkan terkesan membela korporasi tambang nikel dan menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya,” tambah Lukman.
TAKI juga mengkritik pernyataan Sherly yang mengaku prihatin terhadap kondisi ekonomi keluarga para terdakwa. Namun, menurut advokat Agung Iliyas, komentar itu mengaburkan pokok masalah yang dihadapi warga.
“Ini membuktikan Gubernur Malut menjauhkan masalah pokok Maba Sangaji dari akar persoalan. Bahwa akar persoalan utama maba Sangaji adalah eksistensi perjuangan masyarakat adat—yang sedang mempertahankan wilayahnya dari kerakusan tambang nikel sampai merusak hutan dan sungai warga,” terang Agung.
TAKI menuntut Sherly meminta maaf dan mengklarifikasi pernyataan yang keliru, sesat, dan tidak berdasar terkait perkara warga Maba Sangaji di hadapan publik yang bukan merupakan fakta persidangan. Sherly juga didesak hentikan pencitraan dan menjauhkan masalah pokok yang dihadapi warga Maba Sangaji melawan korporasi tambang nikel.
“Cabut IUP PT.Position dan IUP lainnya di atas tanah dan hutan adat Maba Sangaji; dan Menyerukan solidaritas terhadap semua gerakan massa terhadap pembebasan 11 warga Maba Sangaji—yang saat ini sedang berjuang di Pengadilan Negeri Soasio,” desak TAKI.
TAKI juga melayangkan somasi kepada Sherly Tjoanda agar dalam waktu 3 x 24 jam ia harus menyampaikan permintaan maaf kepada sebelas masyarakat adat dan keluarga Maba Sangaji dalam bentuk konferensi pers atau siaran langsung lewat media online serta seluruh platfrom akun media sosial miliknya.
“Dalam waktu 3 x 24 Jam jika Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Tidak meminta Maaf atau mengindahkan permintaan diatas diatas maka kami yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi akan menempuh jalur hukum,” jelas TAKI.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.