SIANG itu, 28 April 2025, aksi damai warga Maba Tengah mendadak kocar-kacir. Mereka, yang sehari-harinya lebih akrab dengan kopra, pala, dan kebun tiba-tiba berhadapan dengan Brimob yang menembakkan gas air mata demi mengamankan perusahaan tambang.

Seorang ibu—barangkali tak pernah membayangkan akan bersentuhan dengan benda macam itu—mendekati selongsong yang belum sempat pecah. Ia merekamnya dari jarak dekat dengan ponselnya. Tapi asap yang masih menyelinap membuat matanya perih, tubuhnya terhuyung. Ia mundur tergesa, sambil tetap merekam.

Dari rekaman itu, kita melihat sebuah ironi: tubuh-tubuh yang tak bersenjata, berhadapan dengan teknologi perang yang dipakai atas nama ketertiban.

Baca Juga:Fiat ke Fitrah

Gas air mata, sebagaimana dicatat Anna Feigenbaum dalam Tear Gas: From the Battlefields of World War I to the Streets of Today, lahir bukan dari ruang hukum, melainkan dari laboratorium perang. Pada Perang Dunia I, para ahli kimia berebut menciptakan senjata baru. Dari situ, gas air mata—bersama klorin dan fosgen—diciptakan.

Ketika perang usai, senjata itu menemukan pasar baru: aparat kepolisian. Dari gudang-gudang senjata, ia berpindah ke jalan-jalan kota. Dari parit-parit medan tempur, ia mendarat di tubuh buruh, mahasiswa, perempuan, anak-anak.

Sejarahnya tak jauh berbeda dengan sejarah kolonialisme: senjata perang dipakai di wilayah “domestik” untuk mengendalikan. Dari Amerika tahun 1930-an, ketika veteran perang menuntut hak mereka, hingga Indonesia hari ini, ketika warga mempertanyakan nasib tanah dan air. Sejarah yang berulang, hanya berbeda wajah.

Bahasa lalu memberi nama: “gas air mata”. Nama itu terdengar nyaris puitis, sentimental. Seolah yang keluar hanyalah air jernih kesedihan. Padahal, yang dihirup adalah racun. Kata ini bekerja sebagai penutup kekerasan yang dibungkus dalam citra kelembutan.

Media mengulang-ulang bahasa itu. Polisi “menertibkan” dengan gas air mata. Tak disebut: dengan racun. Tak disebut: dengan perih. Yang tersisa hanya citra: aparat yang sabar menghadapi massa, gas yang “membubarkan tanpa melukai.”

Di sinilah bahasa mempermainkan kita. Ia bisa menjadi selimut yang menutupi tukak, atau cermin yang memantulkan kenyataan paling getir. Coba ingat tragedi Kanjuruhan tahun 2022—ketika gas air mata yang dilarang oleh aturan FIFA justru ditembakkan ke tribun penuh manusia, memicu kerusuhan dan kekacauan, berujung pada 135 korban meninggal.

Kata “gas air mata” terdengar lembut, seolah menyiratkan kesedihan bukan kekerasan, keharuan bukan pengendalian paksa. Padahal tubuh-tubuh yang tersengal, anak-anak yang menangis, paru-paru yang terbakar—semua itu nyata, sungguh nyata. Nama yang anggun itu justru melunakkan kenyataan yang kejam.

Tubuhlah yang menanggung. Mata yang perih, kulit yang iritasi, pernapasan yang menyakitkan. Tubuh perempuan yang menggendong bayi. Tubuh lelaki tua yang mencoba bertahan. Tubuh remaja yang hanya ingin bersuara. Gas air mata tidak memilih siapa. Ia menembus ruang pribadi, masuk ke rumah, ke dapur, ke kamar tidur. Ia menjadikan tubuh sebagai arena politik. Tubuh yang mestinya berdaulat, dipaksa tunduk melalui perih yang tak tertanggungkan.

Pertanyaannya: apakah ini bukan kekerasan? Apakah dengan tidak meneteskan darah, negara boleh menciptakan tangis buatan? Apa arti kekuasaan jika ia mempertahankan diri dengan membuat warganya menangis? Bukankah air mata adalah bagian paling intim dari tubuh—salah satu tanda paling manusiawi—yang kini bisa dibeli, diproduksi, dipaksa keluar oleh sebuah tabung kecil?

Baca Juga:Pemerintah!

Gas air mata memperlihatkan paradoks zaman ini. Negara bisa memproduksi tangis, bisa menembakkan perih, bisa menimbulkan kesedihan yang seragam. Tapi apakah kesedihan itu sanggup membungkam suara? Atau justru, semakin memperlihatkan perbedaan tipis antara pelindung dan penindas?

Mungkin, pada akhirnya, kita sedang diingatkan: bahasa yang memberi nama, sejarah yang membentuk, politik yang menubuhkan, semua bisa dipertanyakan kembali. Sebab tak ada tangis yang sepenuhnya bisa dibeli. Ada air mata yang lahir dari tubuh yang luka. Dan selama itu masih ada, tabung apa pun tak akan bisa menghapusnya.[]

Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.