BERPOLITIK di Indonesia mengharuskan kita mengerti satwa. Setiap kejadian atau pendapat sering mengikutkan nama-nama binatang. Ada yang dimaksudkan untuk mengajak berpikir tapi ada nama-nama binatang yang digunakan untuk memaki dan meledek. Di Indonesia, politik-satwa membuat kita terlibat pembahasaan yang berlapis dan mengadakan kemungkinan-kemungkinan tafsir.
Politik-satwa mudah membawa kita membuka lembaran sejarah, sejak masa kerajaan sampai masa kolonial. Indonesia yang merdeka tetap saja ramai politik-satwa. Di pidato-pidato Soekarno, ia biasa menyebut beberapa nama binatang untuk membesarkan revolusi atau menandai musuh-musuh revolusi. Yang ada dalam tulisan dan ucapan Soekarno makin mengayakan bahasa dalam berpolitik meski meninggalkan dendam dan trauma.
Pada masa Orde Baru, masalah politik-satwa tetap berlaku. Kini, kita belum bisa melakukan ralat besar-besaran untuk politik-satwa. Agustus dan September yang membara di pelbagai kota ditanggapi oleh penguasa dan pejabat dengan peringatan: adu domba. Mereka bilang rakyat jangan mau diadu domba. Peringatan yang bijak tapi menyulitkan pemahaman mengenai siapa-siapa yang sengaja mengadakan adu domba.
Yang terjadi adalah gegeran yang melibatkan banyak pihak. Ada yang menyerang DPR RI. Ada yang mendendam polisi. Ada yang jengkel dengan menteri-menteri. Ada yang bingung dengan sikap dan keputusan presiden. Segala pendapat, konklusi, dan situasi memungkinkan munculnya seruan rukun dan persatuan. Adu domba dimunculkan lagi agar semua kerusuhan reda, terjadi ketertiban, dan usaha menegakkan hukum.
Kita belum ingin belajar adu domba pada para tokoh yang ada di legislatif dan eksekutif. Pilihan untuk mengerti adu domba bersumber dangdut. Beberapa hari yang lalu, lagu yang dibawakan Rhoma Irama memang tidak dikumandangkan. Agustus itu lagu berjudul “Indonesia Raya” meski Indonesia dalam kecamuk yang rumit. Rhoma Irama tidak dipentingkan dulu atas nama peringatan sejarah dan pembesaran nasionalisme. Mengapa dangdut dapat berperan saat terjadi kekacauan dan kebingungan yang berwajah politik?
Namun, kita mesti menikmati dangdut saat ucapan-ucapan para tokoh di legislatif, eksekutif, polisi, dan militer tak mudah dimengerti bila melihat kenyataan-kenyataan. Kita bersandar dangdut saja. Rhoma Irama dalam lagu yang berjudul “Adu Domba” mengingatkan: Adu domba, adu domba, mengadu domba/ Domba dipertarungkan/ Adu domba, adu domba, mengadu domba/ Domba dipertarungkan/ Demi keuntungan domba jadi korban/ Demi kesenangan domba kesakitan. Rhoma Irama mengisahkan adu domba, belum dalam lakon politik. Di pelbagai tempat, adu domba itu sejenis perayaan yang ditonton banyak orang.
Adu domba itu kejam! Pemahaman ada domba dalam kerusuhan atau gegeran makin bikin sedih. Adu domba menimbulkan korban untuk pamrih-pamrih yang berkuasa dan bermodal. Kita mula-mula diajak melihat adu domba, belum terlalu politis meski kemarin kita menyimak lagi para tokoh berseru menggunakan istilah adu domba.
Rhoma Irama yang bijak dan suka berdakwah menyampaikan: Hentikanlah, hentikan, itu kezaliman/ Janganlah dan janganlah kau mengadu domba. Semua sudah terjadi. Pada akhir Agustus, kita menyaksikan Indonesia merana dan terluka. Ada pihak-pihak yang tidak mau disalahkan dan bertanggung jawab. Ada yang malah dianggap jahat dan merusak Indonesia. Ada yang pura-pura prihatin tapi bermain kepentingan yang besar. Apakah adu domba yang diserukan setelah 28 Agustus 2025 masih memberi daya agar kita memihak persatuan dan menyelesaikan masalah-masalah secara demokratis?
Kita mudah menerima klise bahwa setelah seruan adu domba bakal ada penentuan kambing hitam. Yang merasa benar dan memiliki seribu pamrih mencari kambing hitam. Kita dalam situasi penuh sandiwara bergelimang fitnah. Sejak lama, kita dikecewakan dengan adanya kejadian-kejadian, yang akhirnya memunculkan kambing hitam. Kebenaran dan keadilan diragukan.
Yang ingin belajar tentang kambing hitam dapat dimulai dari puisi pendek yang digubah Joko Pinurbo. Pada 2007, ia menggubah puisi berjudul “Kambing Hitam”. Puisi yang mengandung lucu tapi memberi peringatan keras atas kejadian-kejadian di Indonesia, dari masa ke masa. Joko Pinurbo mengisahkan: Kambing hitam sebentar lagi/ akan disembelih untuk korban persembahan/ Kepada tukang jagal yang akan/ menggorok lehernya ia berkata/ “Ketika lahir, buluku semuanya putih.” Yang dipaksa salah dan menanggung banyak akibat adalah kambing hitam. Di Indonesia, penguasa dan pelbagai pihak berlomba mencari dan mengecap adanya kambing hitam. Konon, siasat itu mematikan dan jaminan untuk paling “benar”.
Puisi belum mencukupi untuk mengerti kambing hitam? Maka, seharusnya kita membaca buku berat berjudul Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2007) yang disusun oleh Sindhunata. Kita berpikir serius untuk paham kambing hitam dalam beragam konteks berdasarkan kekerasan. Yang bisa dipelajari: “… mekanisme kambing hitam adalah mekanisme yang menyembunyikan kekerasan yang nyata. Itu harus supaya mekanisme itu bisa efektif. Jadi dengan menjalankan ritus korban, orang-orang mengiyakan bahwa kambing hitam itu penyebab kekerasan, bukan masyarakat.” Penjelasannya berpijak agama, filsafat, dan sastra. Kita mengaku sulit mempelajari kambing hitam saat penunjukkan kambing hitam dalam gegeran Agustus dan September telah membesar di Indonesia.
Hari-hari yang belum tenang. Kita masih menunggu keputusan-keputusan penting dan penyelesaian pelbagai masalah. Namun, adu domba dan kambing hitam mampir di kepala kita minta dipikirkan. Sejarah kekerasan di Indonesia memang mengukuhkan politik-satwa tapi jarang memberi penyadaran yang berlaku lama.
Penulis merupakan seorang pengarsip, esais dan kritikus sastra Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.