Dugaan korupsi yang menyeret nama Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Tidore Kepulauan, Ismail Dukomalamo, terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023 di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dinilai tidak berdasar dan hanya sebatas wacana liar.

Hal ini ditegaskan langsung oleh Inspektur Inspektorat Kota Tidore Kepulauan, Arif Radjabessy. Ia menyatakan bahwa tidak ada keterlibatan langsung Sekda dalam temuan-temuan BPK tersebut.

“Kalau untuk keterlibatan langsung, tidak ada. Tapi karena beliau menjabat sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), maka namanya dikait-kaitkan seolah-olah terlibat,” ungkap Arif, Senin, 8 September 2025.

Salah satu temuan yang disebut menyeret Sekda adalah terkait honorarium rohaniawan sebesar Rp4,8 miliar di Bagian Bina Kesra. Selain itu, ada pula temuan lain seperti pengelolaan retribusi daerah pada Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) sebesar Rp46,4 juta, serta kekurangan volume pekerjaan bangunan di tiga OPD yang belum disetor pihak ketiga sebesar Rp183 juta.

Arif menjelaskan, temuan senilai total Rp218 juta di tiga OPD tersebut sudah mulai ditindaklanjuti. Pihak rekanan telah menyetor Rp34,8 juta, dan sisanya sebesar Rp183 juta telah dijamin melalui Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) oleh pihak ketiga.

“SKTJM ini menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk melakukan penagihan sewaktu-waktu kepada pihak ketiga. Jadi, dalam realisasinya tidak ada keterlibatan Sekda sama sekali,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Bina Kesra Setda Kota Tidore, Sahnawi Ahmad, juga memberikan klarifikasi terkait temuan BPK senilai Rp4,8 miliar tersebut. Ia menegaskan bahwa isu korupsi yang menyeret Sekda dalam penggunaan dana honorarium rohaniawan adalah tidak benar.

Menurut Sahnawi, dana tersebut digunakan untuk membayar insentif pemuka agama di Kota Tidore Kepulauan, termasuk Imam, Sara, Pendeta, Pelayan Jemaat, dan Guru Ngaji TPQ, dengan total penerima sebanyak 1.267 orang. Pembayaran insentif dilakukan setiap tiga bulan dan tepat waktu.

“Temuan BPK hanya terkait penamaan di aplikasi SIPD. Menurut BPK, istilah ‘rohaniawan’ tidak diperbolehkan dan harus diganti menjadi ‘diserahkan kepada masyarakat’. Kami sudah menyanggah dan BPK mengakui bahwa persoalan ini telah selesai,” jelasnya.

Ia menambahkan, semua bukti penyerahan insentif terdokumentasi dengan baik, disaksikan oleh pihak kelurahan/desa, dan bahkan sudah diberitakan secara resmi.

“Kalau benar dana itu dikorupsi, tidak mungkin kami bisa melakukan pembayaran kepada 1.267 orang pada tahun 2023. Jadi, tudingan ini fitnah yang sangat kejam terhadap kami dan Pak Sekda,” tegas Sahnawi.

Temuan di Disperindagkop

Kepala Dinas Perindagkop Kota Tidore, Selvia M. Nur, turut angkat bicara soal temuan retribusi sebesar Rp46,4 juta. Ia mengungkapkan bahwa penyimpangan dilakukan oleh oknum petugas retribusi berinisial R, yang merupakan pegawai honorer dan bertugas di belakang Pasar Gosalaha, tepatnya di Los A1 dan A2.

Menurut Selvia, kasus ini telah dibahas dalam forum Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TPTGR). Dalam forum tersebut, disepakati bahwa yang bersangkutan harus mengganti kerugian dengan menyetor langsung ke rekening daerah.

“Namun hingga kini, yang bersangkutan belum melakukan pengembalian dana,” akunya.

Ia menegaskan bahwa dana retribusi tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi oknum, tanpa ada arahan atau keterlibatan pihak lain.

“Nilainya juga sangat kecil. Terlalu receh kalau persoalan ini sampai dikaitkan dengan Pak Sekda,” tutup Selvia.