PADA saat gerhana bulan, 7-8 September 2025, anak-anak tidur lelap. Mereka bermimpi macam-macam sampai malam berlalu untuk berganti pagi. Mereka tidur di kamar, bukan di tempat terbuka di bawah langit. Padahal, anak-anak selalu penasaran matahari, bulan, bintang, dan planet-planet. Apakah ada anak yang bermimpi sedang piknik atau jalan-jalan di bulan? Siapa yang menjadi tokoh duduk di bulan sabit?

Mereka gagal melihat gerhana bulan tapi masih bisa mengikuti berita-berita atau mendapat foto dan rekaman yang tersebar di media sosial. Pada suatu hari, mereka yang mengikuti penasaran membuka buku-buku: dari ensiklopedia sampai buku bertema sains. Namun, kita mengetahui anak-anak tidak lagi percaya meraih pengetahuan melalui buku-buku.

Pada 1979, terbit buku tipis untuk anak-anak berjudul Alam Semesta. Buku terjemahan yang diterbitkan Gramedia dalam seri “Pustaka Dasar”. Dulu, buku itu sangat penting bagi anak-anak yang ingin menemukan jawaban-jawaban mengenai keindahan dan misteri alam.

Keterangan yang diberikan: Bulan berputar mengelilingi bumi satu kali dalam sebulan. Cahaya matahari hanya menerangi satu belahan bumi saja. Belahan yang lainnya tetap gelap. Sekali sebulan seluruh belahan bulan yang menghadap bumi diterangi cahaya matahari. Kejadian ini disebut bulan purnama.” Di pelbagai tempat, bulan purnama mengesahkan kebahagiaan anak-anak yang bermain di pekarangan atau tempat terbuka. Mereka bersukacita saat mendengarkan dongeng, bersenandung, atau bermain.

Anak yang belum cukup hanya belajar tentang bulan melanjutkan membaca buku yang berjudul Astronomi. Buku berukuran besar dengan gambar-gambar berwarna membuat pembaca terpikat. Kita membayangkan anak yang membaca itu terselenggara pada masa lalu. Berbeda dengan masa sekarang, anak mendingan mencari dan menikmati beragam pengetahuan dalam gawai.

Yang terbuka adalah buku yang disusun Kristen Lippincott. Buku yang membuka sejarah dan pertumbuhan astronomi. Keterangan yang diberikan: “Bulan adalah satu-satunya satelit bumi, yang berada sekitar 384.000 km. Bulan adalah benda yang paling terang setelah matahari di langit kita. Asal bulan masih diperdebatkan.” Kini, pengetahuan kita mengenai bulan terus bertambah. Artinya, buku-buku lama tidak sepenuhnya dipercaya.

Pengetahuan bulan yang diperoleh anak-anak biasanya bercampur dengan dongeng-dongeng. Pada imajinasi bulan, anak-anak tampak takjub. Ada yang menikmati dongeng-dongeng di Nusantara sudah merasa bersyukur atas keajaiban bulan atau alam semesta. Anak-anak yang suka membaca buku menambahi pukau imajinasinya dengan membaca novel-novel fantasi. Bulan berlimpahan cerita, tidak habis-habisnya. Kita belum perlu membandingkan pengisahan bulan oleh para pengarang Indonesia, Tiongkok, Jepang, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, atau Amerika Latin.

Orang-orang yang dewasa masih membawa warisan-warisan imajinasi bulan. Mereka mengimbuhi dengan menikmati lagu-lagu asmara yang biasanya menghadirkan bulan. Kaum lawas mendengarkan lagu berjudul “Bulan Bintang” yang dibawakan Rhoma Irama. Lagu romantis, belum ada kepentingan pengajaran sains: Bulan di manakah kini/ Jangan kau sembunyi, tampakkanlah diri/ Bintang sepi menyendiri/ Berselimut sunyi selalu mencari// Malam semakin kelam tanpa kau sang rembulan/ Bintang sedih bermuram tanpa kau sang rembulan. Kita segera membayangkan pencarian, penantian, dan kesepian. Rhoma Irama bukan ilmuwan. Ia tidak memiliki kewajiban menaruh bulan dalam lagu merujuk sains.

Yang dirasakan saat mendengarkan lagu Rhoma Irama pada malam hari: Naluriku berkata bulan masih ada/ Dan menanti bintang dengan penuh damba/ Aku takin bulan juga gelisah merana/ Dan menanggung rindu dalam penantian/ Bulan, bintang pun merindukanmu. Pada masa lalu, orang mendengarkan lagu Rhoma Irama lewat radio di kamar atau di serambi rumah. Peristiwa yang kini dikangeni. Kangen lagu sekaligus kangen menikmati bulan saat malam-malam terlalu dikuasai lampu-lampu.

Dulu, para penikmat dangdut menggemari lagu-lagu yang dibawakan Mega Mustika. Suaranya merdu, memudahkan pendengar untuk cengeng. Ia melantunkan bulan dan asmara: Bulan, temanilah aku/ Di malam yang sesunyi ini/ Jangan kau pergi tinggalkan aku/ Seperti dia yang mendustaiku// Bulan tampakkan sinarmu/ Mengapa kau sembunyi di awan hitam/ Aku akan bercerita tentang dirinya/ Yang membuat cintaku merana. Bulan diharapkan mengurangi sedih. Bulan yang indah dapat membalas sengsara akibat asmara. Yang mendengar lagu dangdut mengisahkan bulan makin tak memiliki kewajiban membuka buku-buku sains. Bulan itu melulu asmara?

Yang serius mengimajinasikan bulan kadang memilih membaca cerita pendek, puisi, atau novel. Bulan tidak selamanya asmara. Di puisi berjudul “Koyan yang Malang” gubahan Rendra, kita membaca imajinasi yang mencekam: Hutan habis terbakar/ kerangka mengutuk langit/ melari pada bumi// Bulan di atas bersepuh darah/ menetes air jingga dari matanya. Bait-bait yang tidak membahagiakan.

Di Indonesia, cerita atau puisi mengandung bulan mungkin ribuan. Bulan pun laris dalam lagu-lagu untuk anak dan dewasa. Sejak dulu, kita memang memilih imajinasi bulan ketimbang pengetahuan bulan. Kita memang takjub sekaligus terlena dengan pengisahan-pengisahan bulan, yang menguak masalah asmara, kekuasaan, kemakmuran, kematian, dan lain-lain. Bulan memang selalu bersama kita dalam imajinasi.


Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia