Sidang sebelas masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang dituduh melakukan pemerasan, pengancaman, serta membawa senjata tajam, kembali digelar di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Rabu, 10 September 2025. Agenda persidangan keempat itu menghadirkan empat saksi dari jaksa penuntut umum (JPU). Namun, keterangan saksi justru melemahkan dakwaan terhadap sebelas terdakwa.

Empat saksi yang dihadirkan adalah Amin Faroek dari Kesultanan Tidore; Ansori, karyawan PT Position, Khufra Tarore dari Polsek Maba Selatan; dan Yoyon, karyawan PT Presisi–subkontraktor PT Position. Mereka dimintai menjelaskan dua perkara berbeda, yakni dugaan pemerasan dan pengancaman sebagaimana Pasal 368 KUHP, serta membawa senjata tajam dan menghalangi aktivitas pertambangan sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Darurat dan Pasal 162 UU Minerba.

Dalam kesaksiannya, Amin Faroek menyebutkan ritual adat yang dilakukan warga Maba Sangaji tidak termasuk tradisi adat Halmahera Timur. Namun, ia mengakui, jika benar tidak ada senjata tajam dalam proses ritual, maka ritual itu sah secara adat. Ia bahkan menegaskan wilayah Maba Sangaji adalah bagian dari Kesultanan Tidore sejak abad ke-16, dengan mandat adat untuk melindungi hutan dan sungai.

“Bahkan perwakilan Kesultanan Tidore itu, pun menyampaikan kekesalan atau sewenang-wenang pemerintah dan perusahaan yang selalu mengabaikan hak-hak masyarakat adat,” tegas Amin sebagaimana dalam sidang tersebut.

Tiga saksi lain dari perusahaan dan kepolisian, mengaku tidak melihat warga Maba Sangaji membawa, apalagi mengacungkan senjata tajam saat aksi adat berlangsung. Bahkan saksi Ansori berulang kali mengatakan “tidak tahu” karena ia tidak berada di lokasi saat kejadian, hanya mendengar laporan dari karyawan dan melihat tayangan video saat kejadian.

Fakta ini, menurut Sugiar Aziz, pengacara Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI), memperkuat bahwa tuduhan pemerasan dan pengancaman tidak terbukti, sebab para saksi tidak bisa menjelaskan kepada majelis hakim apa yang mereka lihat meski tidak berada di lokasi.

“Ini membuktikan keterangan para saksi mengaburkan fakta dan terkesan menutupi fakta yang sebenarnya, tetapi walaupun demikian keterangan para saksi membuktikan klien kami tidak terbukti melakukan pengancaman dan pemerasan,” jelas Sugiar dalam keterangan tertulis.

Dalam sidang, juga terungkap adanya dokumentasi serah terima kunci alat berat PT Position kepada warga, yang disaksikan aparat kepolisian dan TNI. Warga mengaku kunci itu hanya dijadikan jaminan agar perusahaan menjelaskan secara terbuka aktivitas mereka di hutan adat dan kerusakan sungai.

“Kami meminta kunci alat berat milik PT.Position tersebut sebagai jaminan untuk PT.Position mempunyai itikad baik dan secara jujur menyampaikan ke semua warga apa yang telah mereka lakukan di hutan adat kami dan kenapa sungai kami dirusak,” jelas Sahil Abubakar, menerangkan di hadapan majelis hakim.

TAKI menilai, dakwaan JPU tidak terpenuhi unsur deliknya. Mereka meminta majelis hakim membebaskan 11 warga adat Maba Sangaji, memulihkan hak-hak mereka, serta mendesak pemerintah kabupaten Halmahera Timur mencabut izin usaha pertambangan PT Position.

Rabul Sawal
Editor
Rajuan Jumat
Reporter