Sebelas masyarakat adat Maba Sangaji menolak menandatangani surat pernyataan yang diduga diberikan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur. Surat itu memaksa para tahanan mengaku bersalah karena telah menolak aktivitas pertambangan nikel di hutan adat. Surat itu disobek pasca sidang keempat di depan Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Rabu, 10 September 2025.
Sahil dan sepuluh masyarakat adat Maba Sangaji menolak menandatangani surat tersebut. Bagi mereka, surat itu sebagai upaya membungkam dan melemahkan perjuangan masyarakat adat atas hutan, tanah, sungai, dan ruang hidup dari ancaman pertambangan PT Position di wilayah adat.
“Bagi kami ini adalah sebuah tindakan mencederai harkat dan martabat kami sebagai masyarakat adat. Dan di depan ini, kami ingin menyobek surat yang diberikan oleh pemerintah daerah. Kami menganggap, apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah upaya menjauhkan persoalan yang kami perjuangkan,” jelas Sahil Abubakar, salah satu terdakwa sambil merobek surat itu.

Surat itu diberikan oleh salah satu perwakilan pemerintah daerah didampingi seorang aparat tanpa seragam di rumah tahanan (Rutan) Soasio pada akhir Agustus 2025. Sahil mengatakan surat itu diberikan sebagai jaminan keringanan hukuman. Bila setelah ditandatangani, akan diberikan ke kejaksaan agar ada pengampunan perkara.
“Bahwa kami akan berjuang sampai kapanpun. Setelah keluar dari sini pun, kami tetap akan berjuang untuk mempertahankan hutan demi kelestarian lingkungan kami dan kehidupan selanjutnya dan anak cucu kami,” tegas Sahil.
Wetub Toatubun, pengacara Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menilai surat pemerintah daerah Halmahera Timur tersebut tidak lain adalah siasat licik membungkam perjuangan warga menyelamatkan ruang hidup dan masa depan Maba Sangaji.
“Dari surat itu, kami menduga bahwa pemerintah Halmahera Timur lebih mengutamakan kepentingan korporasi ketimbang membela dan melindungi warganya dari upaya kriminalisasi. Pemerintah yang seharusnya mendukung warga, tampaknya turut setuju ruang hidup warga dihancurkan oleh tambang nikel,” jelas Wetub kepada Kadera.
Dalam dakwaan, Sahil dan sepuluh masyarakat adat Maba Sangaji dikenakan pasal berlapis: dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait “membawa senjata tajam tanpa hak”, Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait “merintangi atau mengganggu aktivitas pertambangan”, dan melakukan pemerasan melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.