Sebelas masyarakat adat Maba Sangaji kembali menjalani sidang kelima di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Rabu, 17 September 2025. Agenda sidang menghadirkan keterangan saksi sekaligus pemeriksaan terdakwa dalam perkara nomor 99/Pid.B/2025/PN Sos hingga 108/Pid.B/2025/PN Sos. Dalam persidangan, para terdakwa mengungkap bagaimana mereka pergi ke hutan, menggelar ritual adat, hingga ditangkap.

Para terdakwa menjelaskan bahwa, sebelum berangkat ke hutan adat–lahan yang kini diklaim milik PT Position–mereka telah menggelar rapat dan rembuk adat sebanyak tiga kali. Hasilnya, diputuskan mereka akan menyampaikan keberatan ke perusahaan sekaligus menggelar ritual adat dan membacakan denda adat.

Terdakwa Sahil Abubakar diberi mandat langsung oleh Gimalaha Maba Sangaji–sebagai ketua adat–membacakan tuntutan dan denda adat. Sementara Umar Manado, yang menjabat sebagai Kapita Darat memimpin ritual adat.

Jaksa penuntut umum (JPU) menyoal barang bukti berupa parang, tombak, dan busur yang dibawa warga. Namun, para terdakwa menjelaskan perkakas itu digunakan hanya untuk membuka jalan menuju lokasi, dan ditinggalkan di tenda saat ritual. Tombak dan busur, kata mereka, lazim dibawa untuk berjaga dari hewan buruan, bukan untuk mengancam karyawan perusahaan.

“Kami tidak membawa senjata tajam saat proses ritual adat, juga tidak dipakai mengancam pekerja atau siapapun. Saat ritual, seluruh senjata tajam ditinggalkan di tenda dan dijaga oleh seorang polisi,” jelas Indrasani Ilham, salah satu terdakwa dalam keterangannya.

Kesaksian serupa juga muncul saat penasihat hukum Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menanyakan soal tenda dan spanduk yang dipasang warga di lokasi. Menurut terdakwa, tak ada larangan dari pihak perusahaan. Bahkan, karyawan perusahaan sempat duduk bersama mereka di sekitar tenda yang didirikan di samping jalan perusahaan.

Sebelas terdakwa masyarakat adat Maba Sangaji saat menjalani sidang kelima di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Rabu, 17 September 2025. Foto: Rabul Sawal/Kadera.id

Terdakwa Jamaluddin Badi, mengonfirmasi bahwa lokasi pemasangan tenda, spanduk dan ritual adat merupakan wilayah hutan adat, bukan milik tambang nikel. Hamim Lakoda, terdakwa lain, menambahkan bahwa karena bukan lokasi perusahaan maka tidak perlu meminta izin saat pergi ke hutan adat.

Sejauh ini, JPU telah menghadirkan delapan saksi, termasuk dua polisi, tiga karyawan PT Position, seorang pejabat Dinas Kehutanan Halmahera Timur, dan seorang perwakilan Kesultanan Tidore. Namun, menurut TAKI, tak ada keterangan yang memperkuat status dakwaan.

Sidang juga membahas perkara nomor 109/Pid.B/2025/PN Sos dengan empat terdakwa, dengan menghadirkan empat saksi, dua di antaranya karyawan PT Position. Sem, pengawas perusahaan mengakui dirinya menyerahkan 11 kunci mobil alat berat kepada warga Maba Sangaji pada 18 April 2025. Penyerahan itu dilakukan secara sukarela dengan membuat surat serah terima, disaksikan aparat TNI, polisi, dan pihak keamanan perusahaan.

Saksi lain, Martinus dari kepolisian, menegaskan tak ada perampasan maupun kekerasan dalam penyerahan kunci. Seorang warga, Bahrudin, juga bersaksi bahwa sebelum naik ke lokasi, para terdakwa bersekapat mereka menyambangi lokasi secara damai.

Dalam persidangan, Bahrudin menambahkan, sejak 2008 dirinya pernah ikut membuka lahan kebun di hutan adat bersama ayah mertuanya, Umar–yang kini juga menjadi terdakwa. Menurutnya, hingga kini, lahan tersebut belum pernah diganti rugi oleh perusahaan.

Tiga terdakwa warga adat Maba Sangaji saat memberi kesaksian di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Rabu, 17 September 2025. Foto: Rabul Sawal/Kadera.id

Lukman Harun, salah satu penasihat hukum TAKI menilai fakta-fakta yang terungkap justru makin melemahkan dakwaan dari jaksa. Sehingga tidak terpenuhi unsur delik dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat maupun Pasal 162 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Majelis Hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang telah terungkap, karena tidak terbukti 11 warga Maba Sangaji melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan oleh JPU,” jelas Lukman sebagaimana dikutip dari siaran pers TAKI, Kamis, 18 September 2025.

TAKI juga mendesak agar majelis hakim memberikan putusan bebas dan memulihkan hak-hak sebelas warga Maba Sangaji. Selain itu, mereka juga mendesak agar izin usaha pertambangan PT Position dicabut karena perusahaan tersebut dinilai telah merampas ruang hidup masyarakat adat.

Rabul Sawal
Editor