“Daya dukung” dan “daya tampung”—dua istilah yang sering dipakai dalam dokumen resmi, laporan akademik, hingga pidato pejabat ketika bicara lingkungan hidup. Sepintas terdengar ilmiah, mungkin juga rasional. Namun, di situlah masalahnya. Bahasa teknokratis itu menyembunyikan sebuah cara pandang: alam hanya wadah pasif, tempat manusia bisa mengambil, menaruh, dan membuang hingga batas tertentu. Seolah bumi hanya tong raksasa yang tinggal ditakar kapasitasnya.
Padahal, kerusakan ekologis tidak pernah setia pada tabel dan grafik. Kerusakan itu tampak jauh, sebelum angka-angka hadir: air sungai yang keruh, ikan yang lenyap, mangrove yang mati, petani yang kehilangan hutan. Istilah “daya dukung” hanya memberi ilusi kendali, sementara kenyataan di tapak menunjukkan retaknya jaringan kehidupan.
“Daya dukung” dan “daya tampung.” Kedengarannya ilmiah, objektif, bahkan netral. Namun di balik istilah itu tersembunyi cara pandang tertentu. Alam seolah-olah hanya sebuah wadah kosong yang bisa kita isi, gunakan, lalu ukur kapasitasnya. Seperti botol air mineral yang bisa ditakar: penuh, setengah, atau masih muat sekian liter lagi.
Cara pandang ini berakar pada apa yang dalam filsafat disebut rasio instrumental—akal budi yang semata-mata menjadi alat teknis, alat kalkulasi. Pandangan ini hanya bertanya: berapa banyak yang bisa kita ambil? Seberapa jauh kita bisa mendorong batas? Tapi jarang, bahkan nyaris tak pernah, menyoal: apakah sah kita mengambilnya? Apa yang rusak dari hidup ketika angka itu dilanggar? Siapa yang menjadi korban dari hitung-hitungan tersebut?
Bukankah kerusakan alam tak menunggu verifikasi ilmiah. Bahkan tidak menunggu laporan laboratorium atau tabel statistik. Air sungai yang penuh sedimen lumpur tambang, ikan yang hilang, sawah yang tak bisa ditanami—itu semua cukup menjadi saksi. Masyarakat adat, nelayan, dan petani merasakan dampak jauh sebelum seorang akademisi menuliskannya dalam grafik.
Saya teringat Hendro Sangkoyo, Kepala Sekolah School of Democratics Economicst, pernah menyebut, konsep “daya dukung” dan “daya tampung” hanya mengasumsikan alam sebagai wadah pasif yang menunggu diisi hingga batas tertentu. Baginya, pandangan itu keliru. Alam bukanlah bejana, melainkan jaringan relasi hidup. Begitu sebuah simpul dalam jaringan itu dirusak, maka relasi sosial, budaya, bahkan spiritual warga lokal ikut koyak.
Di sinilah rasio instrumental menunjukkan wajah bahayanya. Ia mengerutkan kekayaan pengalaman ekologis manusia menjadi angka-angka. Ia menyempitkan alam menjadi “daya tampung” bak tong sampah, atau “daya dukung” seperti kursi cadangan. Maka, tidak heran bila dalam logika ekstraktivisme, tambang bisa tetap jalan dengan dalih: masih dalam daya dukung. Seakan-akan penderitaan manusia dan keretakan ekosistem bisa ditunda hingga “batas toleransi” tercapai.
Kita tahu, cara pandang alternatif sudah banyak diperbincangkan. Sebut saja gagasan hak ekologi—bahwa alam sendiri memiliki hak untuk hidup, bukan hanya jadi objek eksploitasi. Atau kerangka planetary boundaries, yang menegaskan bahwa krisis ekologis adalah soal peradaban, bukan hitung-hitungan teknis. Bahkan lebih jauh, ada pendekatan ekologi-politik yang menggeser pertanyaan dari “berapa kapasitas lingkungan?” ke “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan?”
Pergeseran ini penting. Sebab bahasa teknokratis yang membungkus alam dalam istilah “daya dukung” sesungguhnya bukanlah bahasa netral. Ini lebih mirip bahasa kekuasaan, bahasa yang memberi legitimasi bagi perusahaan tambang, bagi birokrasi pembangunan, untuk terus menggerus bumi sambil tetap tampak rasional dan ilmiah.
Mungkin kita perlu kembali pada rasio kritis dan menolak berhenti pada pertanyaan “bagaimana cara paling efisien?” Ia menuntut pertanyaan yang lebih mendasar: “untuk siapa efisiensi itu? apa arti hidup tanpa sungai yang bersih? Bagaimana manusia bisa merdeka jika tanah dan lautnya dicabut?”
Kerusakan ekologi bukan hanya soal daya tampung. Tapi soal keberlangsungan hidup, soal keadilan antargenerasi, soal makna spiritual dari relasi kita dengan alam. Maka, menolak bahasa “daya dukung” bukan berarti menolak ilmu, tetapi menolak cara berpikir yang mengerdilkan bumi menjadi bejana. Kita butuh bahasa yang lebih jujur—bahasa yang mengakui alam sebagai sahabat, bukan wadah pasif; sebagai tubuh, sebagai rumah.
Dan barangkali, di situlah kita bisa mulai memulihkan kerusakan. Dengan menggeser pandangan: dari alam sebagai objek teknis ke alam sebagai subjek hidup. Dari hitung-hitungan instrumental ke perenungan kritis. Dari daya tampung ke daya hidup.[]
Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.