MAKAN mengakibatkan tangisan. Kalimat yang cocok untuk lakon akbar di negara kepulauan. Siapa yang menangis? Berita yang datang kepada kita, yang menangis adalah pejabat di negara yang selalu bercita-cita makmur. Di hadapan kamera, pejabat itu menangis sambil memegang mikrofon. Konon, para penonton mencermati tangisannya, tidak terlalu memikirkan nasib mikrofon.
Pejabat sudah sewajarnya bermikrofon. Ia memerlukannya untuk menyampaikan hal-hal penting mengenai kebijakan pemerintah dan akibat-akibatnya. Jadi, kita yang melihat pejabat memegang mikrofon mengartikan sosok yang paling mengerti dan penting atas suatu kejadian. Pejabat tanpa mikrofon mungkin tidak didengar, berlalu tanpa kesan.
Pada suatu hari, pejabat itu mula-mula menyampaikan beragam masalah yang bersumber dari makan. Di negara yang besar, makan itu terlalu penting dan menentukan sejarah yang sedang dicipta penguasa. Yang sangat dinantikan jutaan orang, pejabat itu menyatakan permintaan maaf atas nama pemerintah. Apakah pemerintah bersalah? Kita tidak mudah menentukan yang salah dan benar. Sejak beberapa bulan yang lalu, pemerintah inginnya benar. Pemerintah tidak mau salah.
Makan mengakibatkan pejabat harus (telat) meminta maaf kepada rakyat, terutama jutaan anak. Di negara yang sering dilanda pusing itu pemerintah mengadakan kebijakan makan yang disediakan untuk jutaan anak. Janji terbesar yang pernah diberikan adalah makanan yang bergizi. Namun, janji itu berbeda dengan situasi di pelbagai tempat yang memunculkan derita dan airmata. Ribuan anak dan remaja yang menikmati makanan malah keracunan. Maka, berita-berita buruk bertumbuh dan menyebar.
Hari-hari yang berganti, rakyat menanti pemerintah meminta maaf dan melakukan pembenahan. Penantian yang cukup panjang. Akhirnya, ada pejabat yang meminta maaf tapi kebablasan menangis. Ia belum sempat menjelaskan tanggung jawab dan perubahan yang wajib terjadi dalam penyediaan makan untuk jutaan anak. Detik-detik yang dimilikinya mumpung memegang mikrofon malah mementingkan tangisan. Maka, negara itu diminta bersedih. Yang terjadi, tangisan malah mendapat ejekan dan kritik. Jawaban atas keracunan makanan yang ditanggung ribuan anak dan remaja bukan tangisan di depan kamera, tangisan yang menimbulkan penasaran penonton untuk mencermati bentuk dan jumlah air mata yang menetes.
Yang ditunggu permintaan maaf dan tangung jawab tapi yang ditampilkan adalah adegan tangisan. Apa yang terjadi sangat mengejutkan dan membingungkan. Kita yang tidak mau berlama-lama pusing mendingan mencari penjelasan dengan membaca buku. Mengapa membaca buku untuk mengurusi makan, minta maaf, dan tangisan?
Kita tutup mata dulu dengan foto tangisan yang beredar dengan penjelasan-penjelasan yang dibuat warga dengan lelucon atau kritik. Kita membuka mata untuk buku John Kador yang berjudul Dahsyatnya Maaf (2011). Jangan salah baca! Buku itu berjudul Dahsyatnya Maaf, bukan Dahsyatnya Tangisan.
John Kador mengingatkan: “Tidak ada satu pun permintaan maaf yang sebanding dengan tugas yang harus dipikulnya. Tak peduli betapa tulus atau efektifnya, sebuah permintaan maaf sesungguhnya tidak bisa menghapus kerusakan yang telah diakibatkan oleh pihak yang bersalah.” Kita merenungi kalimatnya tanpa perlu tawa dan tangisan. Yang pantas dipikirkan adalah permintaan maaf yang tidak hanya berurusan individu. Di negara besar yang rajin dengan kehebohan permintaan maaf dari pihak eksekutif dan legislatif, urusan-urusan besar menimbulkan banyak kesalahan: mulai anggaran sampai manfaat.
Kita yang membaca buku itu jangan kebablasan dengan membuat sebutan untuk rezim di negara yang besar di Asia Tenggara itu sebagai “rezim minta maaf”. Anehnya minta maaf jenis itu belum mendapat pembahasan yang panjang oleh John Kador. Kita yang iseng saja seolah bisa membuat penjelasan lanjutan berdasarkan kejadian ribuan anak dan remaja yang keracunan setelah menyantap makanan yang dicap oleh pemerintah itu bergizi.
Bingung memikirkan “minta maaf” bakal bertambah derajatnya bila kita mau menyempatkan memikirkan masalah makan (bergizi) selama tiga jam. Ada kerja akbar di pelbagai tempat dalam mengadakan dan menyajikan makanan, yang menggunakan anggaran sangat besar. Otak kita mungkin tidak mampu memikirkan kebijakan ambisius tapi malah menimbulkan petaka-petaka. Negara yang mengurusi makan tapi dihajar keracunan. Kita mengaku otak dalam kepala sulit memikirkan semua hal yang “mewajibkan” rezim untuk terus memberi makan kepada jutaan anak selama bertahun-tahun.
Dulu, ada terbitan buku berukuran besar, yang apik dan mantap dalam menjelaskan makanan bergizi, dari abad ke abad. Buku itu berjudul Makanan dan Gizi (1981) yang disusun William H Sebrel dan James J Haggerty. Buku yang sepertinya penting dibaca pada masa sekarang.
Ada penjelasan-penjelasan yang belum kedaluwarsa. Kutipan yang keren dari ahli masakan Prancis bernama Brillat Savarin: “Penemuan suatu resep makanan baru akan lebih menambah kebahagiaan manusia daripada penemuan bintang baru.” Kita mencatat bahwa makanan berkaitan kebahagiaan. Selanjutnya, ada penjelasan ikutan yang penting dicerna: “Makanan yang lezat memberikan sumbangan penting dalam segi gizi, sebab susunan makanan yang sangat seimbang pun tidak akan memenuhi peranannya kalau tidak merangsang selera.” Makanan yang bergizi seharusnya mengundang selera. Akhirnya, yang menyantap akan mendapat bahagia.
Penjelasan dalam buku berbeda dengan kejadian di negara yang keseringan terjebak masalah “penghematan” tapi anggaran-anggaran besar terus diboroskan secara diam-diam. Makanan yang diberikan kepada jutaan anak dan remaja dimaksudkan yang bergizi dan membuat mereka bahagia selama belajar di sekolah. Impian yang indah.
Namun, kebahagiaan ada yang tertunda, didahului oleh derita akibat keracunan. Konon, yang menderita bukan cuma anak dan remaja. Para guru dan orangtua pun ikut menderita bukan sekadar gara-gara makanan yang bermasalah tapi situasi politik, nalar absurd pemilik otoritas pendidikan, lakon bisnis rumit, dan lain-lain. Yang pasti gizi itu penting meski di negara yang besar itu masih label atau penamaan untuk pemenuhan janji terbesar menjelang hajatan demokrasi yang (tidak) misterius.
Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.