Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional dan Simpul Jatam di Maluku Utara mengajukan Amicus Curiae atau sahabat pengadilan dalam kasus sebelas warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, pada Rabu, 1 Oktober 2025. Dokumen itu diserahkan Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Maluku Utara, kepada Asma Fandun, Ketua Majelis Hakim.
Dalam dokumen tersebut, Jatam menilai dakwaan jaksa menggunakan pasal-pasal usang dan tidak relevan, sehingga menjadikan perkara ini sebagai bentuk kriminalisasi masyarakat adat.
“Jatam secara tegas menyatakan bahwa dakwaan ini tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga melanggar hak konstitusional dan hak asasi manusia yang dijamin oleh negara,” kata Julfikar, dalam keterangan tertulis, Kamis, 2 Oktober 2025.
Jatam mempersoalkan tiga hal utama. Pertama, penggunaan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam yang dianggap cacat hukum karena lahir dalam situasi darurat 1950-an. Parang, tombak, dan pisau yang dibawa warga, menurut Jatam, adalah alat kerja tradisional petani di hutan, bukan senjata kriminal.
Pasal 2 ayat (2) dalam undang-undang darurat secara eksplisit, disebut mengecualikan alat-alat seperti ini dari kategorisasi senjata kriminal. Menggunakan pasal ini dalam menjerat warga adat adalah kriminalisasi tanpa dasar hukum yang sah dan bertentangan dengan asas legalitas yang mempersyaratkan kepastian dan kejelasan hukum.
Kedua, dakwaan pemerasan Pasal 368 KUHP dianggap penyalahgunaan hukum. Warga Maba Sangaji disebut hanya menyerahkan kunci alat berat secara sukarela untuk menghentikan operasi tambang, tanpa paksaan atau permintaan uang.
“Tidak ada unsur paksaan, ancaman, atau permintaan uang. Dakwaan ini justru merupakan upaya kriminalisasi terhadap perlindungan hak hidup, tanah, dan lingkungan oleh masyarakat adat,” jelas Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam.
Ketiga, penerapan pasal 162 Undang-Undang Minerba dinilai sebagai bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP). Pasal ini dipakai untuk membungkam protes warga, padahal izin PT Position disebut cacar prosedural karena diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat.
“Ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, sehingga warga Maba Sangaji sedang menjalankan hak konstitusionalnya mempertahankan hutan adat, bukan menghalangi tambang ilegal,” tambah Melky.
Menurut Melky, perkara ini akan menjadi preseden penting apakah pengadilan berpihak pada rakyat atau kepada konstitusi, atau menjadi alat legitimasi perampasan tanah adat. Mereka mendesak majelis hakim membebaskan warga adat Maba Sangaji.
Jatam, berpandangan bahwa perkara ini bukan sekadar soal 11 warga Maba Sangaji, tetapi tentang masa depan bangsa. Jika aksi damai mempertahankan lingkungan bisa dipidana, maka seluruh rakyat Indonesia akan terancam saat memperjuangkan hak hidupnya.
“Sehingga, membebaskan warga Maba Sangaji adalah langkah berani dan tepat untuk menegakkan keadilan, konstitusi, dan keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia. Bagi Jatam, kriminalisasi atas nama investasi adalah kejahatan yang sesungguhnya dan harus dihentikan,” jelas Melky.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.