BELUM lama ini sebuah video beredar di grup-grup pesan singkat. Direkam oleh seorang pekerja tambang, gambar itu menampakkan beberapa orang O’Hongana Manyawa yang sedang berdiri di tepian hutan Halmahera Timur. Mereka tampak canggung di depan kamera—seperti hadir di ruang yang bukan milik mereka—meski justru merekalah yang telah berabad-abad menyebut rimba itu sebagai rumah.

Video itu diambil di sekitar konsesi sebuah anak perusahaan BUMN yang tengah mengeruk jalur di belantara. Dari udara, kawasan itu masih terlihat hijau, tapi di bawahnya mesin telah menggali. Di tengah dentum alat berat, suara hutan perlahan surut. Apa yang bagi O’Hongana Manyawa adalah sumber hidup, bagi negara dan korporasi hanyalah cadangan nikel untuk menyuplai janji besar bernama transisi energi.

Di dalam rapat-rapat besar yang membicarakan masa depan planet, kata-kata itu kerap terdengar: energi bersih. Ia datang dengan irama penuh janji, seperti sebuah kata yang hendak menebus dosa-dosa masa lalu. Dunia, katanya, harus beralih dari bahan bakar fosil. Dunia, katanya, harus menyelamatkan udara. Tapi di antara janji itu, ada sebuah jeda. Di dalam jeda itu kita menemukan hutan, sungai, dan tubuh manusia yang tak disebut dalam slide presentasi.

Baca Juga:Fiat ke Fitrah

Quentin Meillassoux, seorang filsuf Prancis kontemporer, pernah mengingatkan kita tentang artikulasi yang ganjil antara ekonomi subsisten dan kapitalisme. Dunia lokal, yang tampak sederhana, justru menopang mesin besar yang tak pernah ia kendalikan.

Orang-orang yang berburu rusa dan babi hutan, yang memanah ikan di sungai, atau yang meramu buah dan umbi dari rimba, tak sadar bahwa kehidupan mereka ikut menyubsidi keuntungan orang lain yang jauh. Mode produksi yang satu tak pernah sepenuhnya terlepas dari mode produksi yang lain.

Hal yang sama kini terjadi di Halmahera. Kata “transisi energi” yang lahir di ruang diplomasi global berakhir menjadi lubang-lubang besar di tanah mereka. Nikel, kata orang, adalah kunci masa depan baterai. Baterai, kata orang, adalah kunci mobil listrik. Mobil listrik, kata orang, adalah kunci dunia yang lebih hijau. Rantai kata itu seakan tak terbantahkan. Tapi siapa yang menyambungkan kata pertama dengan tubuh terakhir yang menanggung beban?

Di belantara Halmahera, O’Hongana Manyawa hidup dalam bahasa dan ritme mereka sendiri. Mereka tidak menamai hutan sebagai “sumber daya”. Hutan bagi mereka adalah rumah, ingatan, dan tubuh yang memelihara. Tapi di mata negara dan pasar, hutan adalah deposit nikel yang harus digali. Di sini tampak jelas apa yang disebut Meillassoux: ekonomi subsisten yang paling rapuh bisa dipaksa menyubsidi profit kapitalisme global. Subsidi yang tidak pernah dicatat dalam neraca.

Kita bisa melihat contoh yang sederhana. Seorang anak di Jakarta, yang tumbuh di tengah kemacetan, kini akan mengendarai mobil listrik. Ia merasa sedang mengambil bagian dalam penyelamatan bumi. Ia menghirup udara yang lebih bersih. Tetapi ia tidak pernah melihat sungai di Pesisir di Teluk Buli yang keruh. Ia tidak pernah tahu bahwa hutan tempat meramu O’Hongana Manyawa telah berubah menjadi padang gersang penuh debu tambang. Ia tidak pernah sadar bahwa apa yang bersih baginya, belum tentu bersih bagi orang lain.

Ada ironi yang pahit di sini. Energi bersih hanya bersih bagi mereka yang cukup beruntung untuk hidup di kota besar. Sementara mereka yang tinggal di pinggiran hutan harus menerima polusi yang tidak disebut sebagai polusi: longsor, sungai tercemar, udara berdebu. Bersih bagi yang satu, kotor bagi yang lain. Modern bagi yang satu, punah bagi yang lain.

Kita tahu, sejarah selalu menyisakan yang tak terucapkan. Barangkali yang tak terucapkan itulah yang kini kita dengar sebagai bisik hutan yang hilang. Kata “energi” menggaung di ruang konferensi internasional, tetapi tidak ada kata untuk rasa kehilangan O’Hongana Manyawa. Seperti dalam puisi, makna lahir tak hanya dari yang terucap, tapi dari diam yang dipaksa. Dan dalam diam itulah tragedi bekerja.

Maka transisi energi—yang dielu-elukan di forum-forum berpendingin udara—barangkali hanya lanjutan dari nalar lama: nalar yang menganggap dunia sebagai stok sumber daya untuk kepentingan segelintir manusia.

Mereka yang tinggal di kota besar, mereka yang hidup di negara-negara maju, boleh merasa telah mengambil bagian dalam penyelamatan bumi. Tetapi jauh di belantara Halmahera, O’Hongana Manyawa tidak menambang nikel, tidak berdebat soal karbon, dan tidak pernah mengusulkan transisi apa pun.

Baca Juga:Pemerintah!

Namun justru merekalah yang mula-mula harus membayar ongkos dari kebersihan energi orang lain.[]

Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.