Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Pulau Taliabu menemukan fakta mengejutkan dalam penelusuran penggunaan dana pinjaman daerah senilai Rp115 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sejumlah pejabat, terungkap bahwa pinjaman tersebut tidak melalui proses perencanaan resmi yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
Padahal, dalam sistem pemerintahan daerah, Bappeda merupakan lembaga strategis yang bertanggung jawab menyusun arah pembangunan, menetapkan prioritas daerah, serta menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan pembiayaan, termasuk pinjaman daerah.
Sejumlah anggota Pansus menilai, tidak dilibatkannya Bappeda dalam proses pengambilan keputusan pinjaman mengindikasikan pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan berpotensi menimbulkan cacat prosedural dalam pengelolaan keuangan daerah.
“Mantan Kepala Bappeda mengaku tidak mengetahui proses perencanaan pinjaman ini. Padahal, pinjaman daerah seharusnya berangkat dari dokumen perencanaan resmi seperti RKPD dan RPJMD yang disusun oleh Bappeda, kemudian diturunkan ke dalam RKA. Kalau Bappeda tidak dilibatkan, maka dasar perencanaannya lemah dan bisa menyalahi ketentuan hukum. Tapi tentu kami tetap akan cek kebenaran pengakuan ini,” kata Ketua Pansus DPRD Taliabu, Budiman L. Mayabubun, saat dikonfirmasi via WhatsApp, Senin, 6 Oktober 2025.
Budiman menegaskan bahwa setiap pinjaman daerah wajib berlandaskan dokumen perencanaan pembangunan daerah.
“Pinjaman daerah bukan keputusan instan. Ini keputusan strategis yang harus disandarkan pada dokumen resmi dari Bappeda. Tanpa itu, pinjaman bisa dianggap cacat prosedural dan menyalahi prinsip perencanaan pembangunan,” ujarnya.
Ia mengutip Pasal 142 Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 yang menyebutkan bahwa pinjaman daerah hanya boleh dilakukan untuk kegiatan yang sudah tercantum dalam dokumen perencanaan daerah. Selain itu, Pasal 3 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah dilakukan oleh kepala daerah dengan dukungan Bappeda.
Menurut Budiman, ketidakterlibatan Bappeda merupakan bentuk pengabaian terhadap sistem perencanaan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004.
“Bappeda bukan sekadar pelengkap birokrasi. Tanpa analisis dan sinkronisasi dari Bappeda, pinjaman bisa diarahkan ke proyek yang tidak menjadi prioritas dan justru membebani APBD di masa mendatang. Tapi kami akan telusuri lebih dalam. Jangan sampai ada informasi yang ditutup-tutupi oleh pihak-pihak terkait,” tegasnya.
Terkait temuan awal Pansus, Budiman mengakui adanya kelemahan koordinasi antara perangkat daerah, khususnya antara Bappeda, BPKAD, dan Dinas PUPR. Ia menyebut, beberapa proyek yang dibiayai dari pinjaman diduga tidak tercantum dalam dokumen RKPD maupun Renstra SKPD, sehingga memperkuat dugaan bahwa pinjaman dilakukan tanpa dasar perencanaan yang jelas.
“Ini berdasarkan pengakuan dari pejabat yang kami periksa. Jika benar bahwa pinjaman tidak masuk dalam dokumen perencanaan resmi, maka jelas telah terjadi penyimpangan. Kami akan panggil semua pihak terkait, termasuk nama-nama yang disebut dalam proses ini,” ujarnya.
Budiman bilang, pinjaman daerah yang tidak berbasis perencanaan resmi berpotensi melanggar sejumlah regulasi, antara lain: UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah; Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan PP Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah.
“Kelima regulasi ini dengan tegas menyatakan bahwa setiap pembiayaan daerah harus berangkat dari dokumen perencanaan yang disusun oleh Bappeda,” pungkas Budiman.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.