I Gusti Agung Made Wardana, Dosen Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan analogi jaksa penuntut umum dan hakim anggota keliru ketika menyamakan sabotase rumah sakit dengan konteks pejuang lingkungan. Hal itu ia sampaikan saat menjadi saksi ahli untuk terdakwa sebelas masyarakat adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, pada Rabu, 8 Oktober 2025.

“Semestinya bicaranya jangan mematikan listrik [di rumah sakit], tapi menyegel sumber pencemarannya. Karena itu peralatan yang paling ril yang akan menghentikan pencemaran, bukan mematikan listrik. Kalau listrik dimatikan, bisa saja pencemaran tetap berjalan karena instalasinya tidak membutuhkan listrik, misalnya. Jadi saya pikir analoginya itu keliru,” jelas Made menjawab pertanyaan yang dianalogikan hakim anggota.

Tetapi kalau dilihat dalam konteks proporsionalitas, kata Made Wardana, proposionalitas itu akan mengacu pada tindakan yang dilakukan secara langsung untuk menghentikan kerusakan. Ia mengambil contoh dalam kasus Suku Kinipan yang langsung mengambil senso, sebab alat itu yang digunakan untuk memotong pohon.

“Jadi kemudian perlu memaknai proporsionalitas itu sebagai direct action atau tindakan langsung yang menghentikan aktivitas itu. Jadi kalau analoginya rumah sakit itu tadi, saya pikir tidak akan menghentikan [pencemaran]. Itu bukan direct action, itu memang tidak manusiawi aja, psikopat. Jadi analoginya terlalu berlebihan,” tegas Made Wardana.

Menurut Made Wardana, tindakan pembelaan lingkungan dianggap proporsionalitas apabila mereka melakukan tindakan langsung pada sumber bencana, sumber pencemaran dan sumber alat yang digunakan untuk melakukan perusakan.

Hakim anggota lalu menjawab bahwa sabotase rumah sakit dengan mematikan listrik sekadar analogi dan dijadikan bahan diskusi untuk mendengar pendapat ahli.

“Namanya hukum itu kan kita bersifat preventif, dalam diskusi sendiri kita kan mengandai-ngandai, ya, kan, nah, kalau kita bukan mencegah, menindak, berarti sudah ada korban, itu prinsip hukum kan, prinsip politiknya gitu kan, makanya kita mengandai-ngandai,” terang hakim anggota yang bertanya.

Sekadar diketahui, sebelas masyarakat adat telah dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan pidana selama 4, 6, dan 7 bulan penjara menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) yang mendampingi juga melayangkan Pleidoi atau Pembelaan pada Jumat, 10 Oktober 2025.

Sidang putusan direncanakan akan berlangsung pada tanggal 16 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Soasio.