TANGAN kanan Rinaldy Suleman menggenggam tang dan menjepit sebuah besi pada daun baling-baling mesin tempel Suzuki milik seorang nelayan. Siang itu, Sabtu, 11 Oktober 2025, matahari sudah tegak di atas kepala.

Mesin perahu itu milik Lutfi Abdul (50), nelayan ikan tuna, yang ia perbaiki di salah satu pangkalan nelayan di Kelurahan Jambula, Pulau Ternate, Kota Ternate.

Ia mengaku, bekerja—membantu nelayan Jambula yang alami musibah, dan mendapat upah pun tergantung keikhlasan pelanggan. Rinaldy merasa iba atas musibah yang menimpa perahu nelayan di sejumlah pesisir Kota Ternate seperti perahu nelayan di Bationg, Fitu, dan Jambula pada Selasa dinihari, 7 Oktober 2025. Karena itu, tak kuasa mematok harga, kecuali nelayan menawarkan sendiri.

Nelayan di Jambula, yang perahunya rusak hingga kini belum mendapat bantuan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate. Sementara biaya perbaikan perahu dan mesin rusak cukup menguras isi dompet nelayan. Satu perahu yang rusak bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta.

Berkat uluran tangan dari Rinaldy, biaya servis cukup meringankan beban. Karena itu, sejumlah nelayan Jambula mengandalkan kemampuan mekaniknya untuk memperbaiki mesin tempel. Bahkan, pasca kejadian, ada belasan mesin tempel milik nelayan Jambula yang ia perbaiki.

“Itu karena ombak besar sampai perahu terbalik dan membuat mesin rusak. Kurang lebih sekitar 12 buah mesin tempel yang saya perbaiki, saat hari pertama kejadian (cuaca buruk),” katanya sembari mengorek-mengorek mesin tempel yang sedang ia servis.

Rinaldy menggerutu ketika menyinggung Pemkot Ternate yang lalai atas peristiwa tersebu. Karena pembangunan breakwater atau talut pemecah ombak di lepas patai Jambula yang tidak merata. Breakwater hanya ada di bagian utara. Sementara di bagian selatan, tak ada pelindung maupun talut pemecah ombak (breakwater). Apalagi mangrove yang rimbun di lepas pantai.

“Kalau boleh ada talut, supaya perahu nelayan aman to,” katanya prihatin.

Tiga perahu nelayan Jambula tampak didaratkan di samping rumah. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

Subuh yang Mencekam di Pantai Jambula

IRMAN RAKIB, tiba-tiba nongol saat kami masih berbincang soal gelombang tinggi dan angin kencang yang memporak-poranda perahu nelayan Jambula. Ia salah satu pemilik perahu yang rusak—terbalik dihantam amukan ombak. Perahu miliknya terpaksa didaratkan dan berhenti beroperasi selama beberapa hari pasca peristiwa. Tepat di belakang pangkalan nelayan, tempat kami ngobrol, perahu Irman sedang docking. Haluan perahu yang bolong, tampak baru usai ditambal dan dicat.

Ia bercerita, saat kejadian nyaris semua nelayan berbondong-bondong ke tepi pantai Jambula. Masing-masing panik menyaksikan cuaca ekstrem yang mengombang-ambing perahu mereka. Beruntung, para nelayan dan warga gotong-royong mengevakuasi perahu di tengah badai: angin kencang dan gelombang tinggi.

“Kejadian itu dimulai sekitar pukul 4 subuh. Tong [para nelayan] ada semua. Saling bantu kasih naik perahu ke darat. Ini sebagian baru kasih turun kemarin,” katanya.

Ia tidak bisa bayangkan, jika saat peristiwa itu hanya dia seorang. Mungkin, perahu miliknya bakal bernasib nahas, serupa perahu nelayan yang rusak total. Meski hanya sedikit mengalami kerusakan pada haluan perahu, Irman harus berusaha keras untuk menebus biaya perbaikan. Karena menanti uluran tangan Pemkot Ternate, hanya sekadar ekspektasi semata. Pemerinta hanya turun mengecek, memotret, dan tak lagi kembali membawa bantuan apa pun

“Pemerintah turun data, tapi belum kasih bantuan. Dong [mereka] cuman banyak foto,” ungkapnya dengan nada kesal.

Sikap pemerintah yang dinilai tak berpihak pada warga nelayan terdampak, berbuah amarah—tampak seperti bom waktu yang siap melanda. Hal ini yang tengah direncanakan para nelayan Jambula. Mereka bakal menggalang massa besar untuk berdemonstrasi.

“Ini besok [Senin] tong [kita] mau bikin demo,” tandasnya.

Lepas pantai Jambula yang tak punya breakwater. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

***

USAI berbincang, saya bersama Rifal menyisir pesisir pantai Jambula. Menyambangi sejumlah tempat perahu rusak milik nelayan. Pada ujung selatan, tampak dua perahu viber sedang didaratkan. Satu perahu kondisinya masih bagus. Sedangkan satu perahu bertulis DKP-K T-T A.2022 06, tampak rusak parah. Bodi dan haluan perahu pecah.

Perahu itu milik Sablun Suhaimi (63). Ia mengaku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan perahunya. Bahkan berkorban hingga pergelangan kaki kirinya bengkak. Namun, nasib baik tidak berpihak padanya. Ombak justru membenturkan perahu pada sebuah beton di pantai. Bodi dan haluan perahu rusak parah, serta mesin tempel yang rusak, turut menambah beban kerugian Sablun. Padahal saat kejadian, ada sekitar puluhan nelayan lain yang turut membantu evakuasi.

Akibat perahu rusak, kini Sablun tak lagi turun melaut. Dan, otomatis ia tak punya pendapatan untuk menafkahi keluarga maupun memperbaiki perahu dan mesin.

“Setelah kejadian itu, trada [tidak ada] aktivitas melaut. So trada [tidak ada] pendapatan. Kalau biasanya, sekali melaut bisa dapat 800-1 juta. Sekarang so trada. Pemerintah juga belum beri bantuan,” ungkapnya.

Cuaca Ekstrem berbuah Demonstrasi

Gafur Kaboli geram saat Pemkot Ternate disebut dalam perbincangan. Nada suaranya tegas, dan sesekali meninggi. Sebagai ketua kelompok nelayan Bubula Ma Cahaya (BMC) di Kelurahan Jamblua, ia merasa terpanggil untuk membela hak-hak nelayan yang mesti diperlakukan sama dengan masyarakat lain. Apalagi, sejumlah perahu nelayan di Jambula rusak—akibat gelombang tinggi dan angin kencang.

“Nelayan tuna Jambula punya kontribusi terhadap pemerintah daerah. Bukan hanya dijual di pasaran lokal, tapi ada yang diekspor ke luar  negeri. Setiap tahunya, ratusan ton ikan harus diekspor,” ungkapnya.

Namun, saat nelayan mengalami musibah dan perahu meraka rusak, justru tidak diperlakukan sama, pemerintah lambat dalam penanganan dan tak memberi bantuan. Ia menekankan, sikap pemerintah yang seperti itu, akan memicu amarah nelayan—seperti bom waktu akan meledak dan bakal ada demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka.

“Jadi pada akhinya kitorang pada hari Senin tra [tidak] lakukan satu tindakan yang anarkis. Kita hanya menunut hak, bahwa kita juga harus diperlakukan sama seperti masyarakat yang lain dalam situasi dan kondisi seperti ini,” tandasnya.

Ia juga menyinggung soal ambisi pemerintah kota Ternate yang terus menjalankan proyek multiyears—reklamasi di pesisir Pantai Kalumata, yang dikerjakan sejak sejak Mei 2018 seluas 4 hektare.

Proyek yang menelan anggaran mencapai Rp40 miliar itu, bagi Gafur, justru berdampak buruk pada wilayah pesisir selatan Kota Ternate, salah satunya di Jambula. Saat ditimbun, secara tidak langsung, ruang penampungan air laut pun semakin menyebar ke lokasi lainnya. Sehingga saat gelombang tinggi, air laut pun kerap naik ke darat.

“Jadi jangan enak-enak reklamasi di kota sana, baru dampaknya ke mari, ke selatan. Peristiwa gelombang tinggi dan angin kencang kemarin, mengakibatkan lebih dari sepuluh perahu nelayan rusak. Ada 3 perahu yang rusak total. Sisanya alami kerusakan ringan,” katanya.

Ia berharap, pemerintah memerhatikan nasib nelayan saat mengalami bencana. Pun meminta agar segera membangun talut pemecah ombak di pantai. Agar perahu nelayan terlindungi saat cuaca ekstrem.

“Di sini, talut bagian barat harus tersambung dengan bagian selatan Jambula. Itu torang [kita] punya harapan. Kemudian ketika nelayan mengalami musibah seperti ini siapa yang bertanggung jawab?” ucapnya. []