EDITORIAL. Hari ini, di ruang Pengadilan Negeri Soasio, sebelas warga adat Maba Sangaji dijatuhi hukuman penjara dengan dalih menghalangi aktivitas pertambangan nikel. Mereka disebut bersalah karena mempertahankan hutan, tanah, dan sungai yang memberi hidup bagi generasi mereka selama ratusan tahun.
Hakim memvonis sebelas warga adat menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Minerba. Vonis ini, sekali lagi, menunjukkan tabiat buruk, watak asli sebagai alat kekuasaan, bukan keadilan hukum. Pasal karet ini bukan sekadar pasal, tetapi cambuk yang digunakan negara untuk membungkam siapapun yang melawan.
Kalau hukum sehat, seseorang atau siapa pun tidak dapat dipidana karena membela ruang hidupnya. Namun tiga orang hakim yang duduk di kursi ‘yang mulia’ tampaknya telah kehilangan akal sehat.
Meja hijau itu seharusnya menjadi tempat semua warga negara mencari keadilan, tetapi yang dipertimbangkan hakim tadi bukanlah fakta, ada kepentingan. Para saksi adat, ahli, saksi warga, para terdakwa, polisi, bahkan pekerja, telah bersaksi bahwa yang digusur perusahaan tambang adalah tanah ulayat, tanah adat.
Seluruh kesaksian itu menunjukkan bahwa ritual adat yang dilakukan warga di hutan adat bukanlah tindakan kriminal, mereka tidak membawa sajam, tidak merusak alat berat, bahkan tidak melukai siapapun di sana. Mereka hanya melantunkan doa leluhur agar tanah adat dan warisan nenek moyang tetap hidup.
Sayangnya, telinga hakim sangat tebal. Pelupuk matanya sudah tertutup luas konsesi tambang. Ia hanya mengenal formalnya izin usaha pertambangan yang lahir dari meja kekuasaan, ketimbang tanah sebagai identitas.
Begitulah hukum hari ini bekerja: lebih baik menjadi seperti alat berat tambang yang ikut mengeruk dalam-dalam luka rakyat. Ia menghancurkan pengetahuan adat, menyingkirkan akal sehatnya sendiri, dan menggadaikan nuraninya dengan pasal-pasal kering, brengsek, tidak berguna.
Tiga orang hakim itu memang terlihat membaca putusan dengan nada datar: seolah-olah mereka sedang menegakkan keadilan, padahal sepicik itu melawan balik rakyatnya sendiri yang berjuang menyelamatkan ruang hidup.
Pasal 162 sudah sangat lama dikritik, ia, oleh seorang ahli, menyebutnya sebagai pasal usang, yang dipakai mengkriminalisasi warga. Tetapi pasal busuk itu dipakai majelis hakim sebagai senjata membungkam pejuang penyelamat kehidupan.
Dari putusan ini, kami melihat tidak ada hakim yang baik kecuali hakim yang mati hati nuraninya demi membela tambang. Putusan ini bukan sekadar hukuman lima bulan delapan hari. Ia adalah simbol betapa aparat penegak hukum kehilangan akal sehatnya sendiri.
Kepada para hakim yang “nuraninya telah mati” dikeruk tambang, kalian melegalkan kekerasan hukum demi membela perusak. Kalian jugalah yang menabur genderang perlawanan di seluruh penjuru Halmahera. Bersiaplah!
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.