Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, merupakan bentuk pengingkaran terhadap keberadaan tanah adat.

Irfan Alghifari, kuasa hukum TAKI yang mengawal kasus ini mengatakan vonis lima bulan delapan hari penjara yang dijatuhkan hakim pada Kamis, 16 Oktober 2025, menunjukkan bahwa negara lebih mengakui izin tambang dibanding hak masyarakat adat.

“Fakta yang paling krusial di dalam putusan majelis hakim hari ini adalah hakim sama sekali tidak mempertimbangkan eksistensi tanah adatnya. Eksistensi tanah adat itu tidak diakui,” kata Irfan kepada Kadera, Kamis, usai sidang di Pengadilan Negeri Soasio.

Sebelas masyarakat adat Maba Sangaji menyampaikan kekecewaan setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, memvonis mereka bersalah dan dijatuhi hukuman penjara lima bulan delapan hari, pada Kamis, 16 Oktober 2025. Foto: Rabul Sawal/Kadera.id

“Tanah adat yang sudah ratusan tahun menghidupi banyak orang, kalah dengan izin usaha pertambangan [IUP PT Position] yang terbit pada tahun 2017, dan sama sekali tidak dibicarakan di dalam pertimbangan majelis hakim,” tambah Irfan.

Irfan menyebut, sejak awal proses persidangan, tim hukum sudah menunjukkan bukti dan kesaksian bahwa lokasi operasi tambang nikel PT Position berada di wilayah adat Maba Sangaji yang belum pernah diserahkan atau disetujui masyarakat. Namun, fakta itu tidak dipertimbangkan majelis hakim dalam putusannya.

“Keberadaan tanah adat tidak pernah dibicarakan dengan masyarakat adat, tidak pernah ada sosialisasi, tapi hari ini kemudian dianggap hilang begitu saja,” jelas Irfan. Menurutnya, hakim hanya berpegang pada keberadaan IUP PT Position, seolah-olah izin tambang keluar maka semua hak adat dinyatakan selesai.

Dalam putusan PN Soasio, majelis hakim menyatakan bahwa sebelas warga adat Maba Sangaji bersalah karena dianggap menghalangi aktivitas pertambangan PT Position dengan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal ini banyak dikritik oleh organisasi masyarakat sipil karena kerap digunakan untuk menjerat warga penolak tambang.

TAKI menilai, hakim gagal melihat konteks sosial dan kultural yang melatarbelakangi protes warga Maba Sangaji. Protes melalui surat keberatan, denda, dan ritual adat, pada Mei 2025 merupakan bagian dari ritual adat untuk menolak perusakan hutan dan sungai.

Namun, majelis hakim justru menilai tindakan tersebut sebagai “penghalangan aktivitas pertambangan.”

Sebelas masyarakat adat Maba Sangaji menyampaikan kekecewaan setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, memvonis mereka bersalah dan dijatuhi hukuman penjara lima bulan delapan hari, pada Kamis, 16 Oktober 2025. Mereka menemui ratusan kelompok solidaritas yang hadiri persidangan putusan untuk mendukung perjuangan warga adat. Foto: Rabul Sawal/Kadera.id

Lebih lanjut, Irfan juga menyoroti alasan hakim yang menolak mengakui para terdakwa sebagai pejuang lingkungan. Hakim menyebut ada denda adat Rp500 miliar dan menganggap itu bukan ritual adat, padahal sudah dijelaskan di persidangan oleh Sangaji Maba, pimpinan adat tertinggi di wilayah Halmahera Timur.

Irfan menerangkan, Sangaji Maba telah memberi kesaksian bahwa ritual adat dan penetapan denda adat merupakan keputusan otonomi masyarakat adat yang pernah dilakukan di wilayah Halmahera Timur. Bahkan, saksi dari Kesultanan Tidore juga menegaskan bahwa tanah adat Maba Sangaji termasuk wilayah ulayat.

“Semua itu diabaikan oleh hakim, tidak ada satu pun dalam pertimbangan yang menyebut tanah ulayat,”  ujarnya.

Ia menilai, vonis ini menjadi preseden buruk bagi masyarakat adat di Maluku Utara. “Ini pesan buat banyak orang di Maluku Utara dan di seluruh kepulauan di Indonesia: tanah adatmu sudah tidak diakui dibanding izin usaha pertambangan,” terang Irfan.

Menurutnya, putusan ini tidak hanya menghukum warga Maba Sangaji, tetapi juga menunjukkan arah hukum yang berpihak pada modal dan mengabaikan kearifan lokal.

Tim Advokasi Anti Kriminalisasi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil akan menempuh langkah hukum lanjutan, termasuk mengajukan banding dan mendesak Mahkamah Agung meninjau kembali praktik penerapan Pasal 162 UU Minerba yang dinilai inkonstitusional.