Warga Desa Sagea dan Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, menegaskan tetap menolak operasi tambang nikel PT Mining Abadi Indonesia (MAI). Mereka menilai, kehadiran perusahaan tersebut tidak sekadar melanggar hak atas tanah, tetapi juga mengancam sumber kehidupan dan ruang ekologis yang menjadi penopang hidup masyarakat.
Hal itu disampaikan Koalisi Selamatkan Kampung Sagea-Kiya dalam pernyataan sikap, Selasa, 21 Oktober 2025, sebagai tanggapan kunjungan Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji, Wakil Bupati Ahlan Djumadi, dan Sekretaris Daerah Bhari Sudirman di Desa Sagea beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, pemerintah daerah disebut hanya membahas dua hal; kompensasi lahan yang diserobot dan ganti rugi dua unit mobil warga yang dirusak alat berat.
“Kami menyatakan dengan tegas, bahwa perjuangan warga Sagea dan Kiya bukan sekadar soal ganti rugi atas lahan yang telah diserobot perusahaan pun sudah dirusak. Tapi lebih luas dan genting untuk kami sampaikan, bahwa perjuangan ini adalah soal ruang hidup, soal lingkungan hidup, dan soal masa depan generasi kami,” jelas Mardani Legayelol, juru bicara Koalisi Save Sagea dalam siaran pers.
Koalisi Save Sagea menyoroti bahwa wilayah Sagea-Kiya berada di kawasan karst seluas 5.714 hektar yang membentang dari Pegunungan Danau Legayelol hingga Goa Bokimaruru dan Telaga Yonelo. Kawasan karst ini memiliki fungsi ekologis penting sebagai penyimpan air, sekaligus ruang kultural dan spiritual masyarakat setempat.
“Karst Sagea adalah benteng kami, sumber hidup kami, dan tempat air kami berasal. Kami tidak akan tinggal diam jika tempat ini dihancurkan,” tambah Mardani.
Telaga Legayelol disebut bukan sekadar sumber kehidupan berupa pangan dan air, tetapi juga pusat budaya dan ritus leluhur kami yang masih kami rawat hingga hari ini.
Dalam catatan Koalisi Save Sagea, aktivitas tambang PT MAI bertentangan dengan sejumlah aturan hukum dan tata ruang, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menetapkan Kawasan Karst Bokimaruru sebagai salah satu dari tiga kawasan prioritas konservasi di Maluku Utara.
Selain itu, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah 2024-2043 juga menetapkan Sagea sebagai zona kawasan karst kelas I, yang hanya diperuntukkan bagi kegiatan konservasi dan penelitian, bukan untuk pertambangan.
Mardani menegaskan bahwa perjuangan warga Sagea-Kiya merupakan upaya mempertahankan kehidupan, lingkungan, dan identitas budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Mereka menolak segala bentuk perampasan ruang hidup atas nama investasi.
“Kami tidak akan tinggal diam menyaksikan tanah kami dirusak dan hak-hak kami diinjak-injak atas nama investasi dan kemajuan ekonomi yang semu. Kami akan terus berdiri, menolak, dan melawan setiap bentuk perampasan ruang hidup kami,” jelas Mardani.
Koalisi mendesak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat mencabut seluruh izin tambang di wilayah Sagea-Kiya, serta memastikan kawasan karst dan telaga tetap dilindungi sebagai warisan ekologis dan budaya masyarakat.
“Sagea-Kiya adalah kehidupan kami. Karst dan Talaga adalah warisan kami. Kami akan jaga, kami akan lawan. Kami tidak butuh tambang. Cabut seluruh izin tambang di wilayah Sagea-Kiya!” tegas Mardani.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.