JALAN bukan sekadar tanah dan aspal. Ia adalah nadi kehidupan. Ketika nadi itu terputus, kehidupan pun pincang. Itulah kenyataan yang kini dialami masyarakat di Kecamatan Oba dan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara, di mana jalan penghubung antarwilayah berubah menjadi ladang penderitaan yang seolah tak berujung.
Di antara debu yang menyesakkan dan genangan air yang menutupi lubang-lubang jalan, masyarakat Oba dan Oba Selatan melangkah dengan kesabaran yang yang mistis. Setiap hari, kendaraan terjebak, dan petani menanggung kerugian karena hasil bumi mereka sulit dipasarkan. Jalan yang seharusnya menjadi penghubung kehidupan kini menjadi penghambat peradaban.
Ironisnya, di tengah penderitaan rakyat ini, pemerintah seakan kehilangan arah. Pemkot Tidore Kepulauan dan Pemprov Maluku Utara berdiam diri, saling menunggu, saling melempar tanggung jawab. Di ruang rapat mereka, angka-angka mungkin pembangunan tampak indah di atas kertas, tetapi di lapangan, kenyataan jauh lebih getir. Rakyat menatap lubang jalan, sementara pejabat menatap laporan kemajuan yang tidak pernah menyentuh tanah.
Sudah berapa lama jalan ini rusak? Bertahun-tahun. Sudah berapa kali rakyat bersuara? Berkali-kali. Namun, hingga kini, tidak ada langkah nyata yang berarti. Pemerintah seolah hanya tahu jalan ke panggung politik, tetapi lupa jalan menuju hati rakyatnya.
Setiap kali musim politik datang, janji manis kembali disemai: “Jalan ini akan diperbaiki”. Namun, janji itu layu sebelum sempat tumbuh. Begitu pilkada usai, yang tersisa hanyalah debu yang menutupi luka lama. Inilah wajah pembangunan yang kehilangan ruh, penuh retorika, tetapi miskin nurani.
Padahal, rakyat tidak meminta kemewahan. Mereka tidak menuntut jalan tol ataupun jembatan megah. Mereka hanya menginginkan jalan yang layak, tanpa harus terjatuh di jalan yang berlumpur. Mereka hanya ingin mengantar hasil tani tanpa harus memperbaiki kendaraan setiap minggu.
Di tengah penderitaan ini, rakyat belajar menjadi sufi, menerima derita sebagai takdir, tetapi tetap berdoa agar ada perubahan. Mereka sabar, tetapi tidak buta. Mereka tahu bahwa pemerintah yang benar bukanlah yang pandai bicara, melainkan yang mau bekerja.
Pemkot Tidore Kepulauan dan Pemprov Maluku Utara seharusnya malu melihat realitas ini. Jalan di Oba–Oba Selatan bukan hanya simbol keterbelakangan infrastruktur, tetapi juga cermin rusaknya rasa tanggung jawab. Pemerintah jangan hanya hadir di baliho dan spanduk ucapan selamat, tetapi hadir di tanah rakyat yang berlubang dan berlumpur.
Titik temu semua persoalan ini ada pada kesadaran moral dan tanggung jawab politik. Jalan Oba menuju Oba Selatan adalah cermin yang menampakkan wajah asli kepemimpinan: apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat, atau sekadar menjaga citra demi kekuasaan.
Sudah saatnya pemerintah berhenti beretorika dan mulai menghadapi realitas. Masyarakat tidak butuh alasan, tetapi butuh tindakan. Karena jalan yang rusak tidak hanya memutus jarak antar wilayah, tetapi juga memutus kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Jalan yang rusak bukan sekadar persoalan fisik, melainkan cermin dari rapuhnya keadilan dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Kami, rakyat Oba Selatan, sudah terlalu lama menelan pahitnya pil kebijakan yang menganaktirikan keberadaan kami.
Jangan jadikan penderitaan kami sebagai bahan kampanye, tetapi jadikan ini sebagai panggilan nurani untuk bergerak. Karena kami tidak menuntut kemewahan, kami hanya ingin jalan yang dapat mengantarkan harapan kami tanpa harus terperosok dalam lubang dan lumpur ketidakpedulian.[]
M. Ghazali Faraman adalah Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Maidi (IPMMA)

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.