Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Simpul Jatam Maluku Utara merilis laporan bertajuk Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara. Laporan ini menyoroti keterkaitan antara kekuasaan politik dan jaringan bisnis ekstraktif keluarga Sherly Tjoanda, yang kini menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara.
“Sherly tidak hanya terlihat sebagai aktor politik, tetapi juga sebagai pebisnis tambang yang terafiliasi dengan jaringan perusahaan yang menguasai lahan dan sumber daya alam di provinsi tersebut,” kata Melky Nahar, koordinator nasional Jatam sebagaimana dalam siaran pers, Rabu, 29 Oktober 2025.
Jatam menemukan pola dukungan pemerintah daerah terhadap perusahaan tambang, meski di lapangan terjadi kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang. Salah satu kasus baru-baru ini terjadi kepada sebelas masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur–yang dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan.
“Narasi pertumbuhan ekonomi dua digit yang sering dibangga-banggakan tidak menyentuh realitas akar rumput, yang memperlihatkan dampak sosial dan ekologis yang semakin dalam. Kriminalisasi warga Maba Sangaji serta penolakan warga di Pulau Obi dan Halmahera hanyalah sebagian contoh dari konflik agraria dan lingkungan yang sering diabaikan,” jelas Melky.

Tentakel Bisnis Keluarga
Jatam memetakan perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Sherly-Laos. Di antaranya PT Karya Wijaya yang menambang nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, PT Bela Sarana Permai menambang pasir besi di Wooi, Obi Timur, Halmahera Selatan, PT Amazing Tabara menambang emas, PT Indonesia Mas Mulia menambang emas, serta PT Bela Kencana menambang nikel, termasuk entitas terkait lain di bawah kelompok keluarga Laos-Tjoanda.
Kepemilikan saham dan posisi direksi terkonsentrasi pada Sherly dan anggota keluarga. Di PT Karya Wijaya, Sherly menggantikan mendiang suaminya, Benny Laos, sebagai pemegang saham mayoritas dengan 71 persen, sedangkan tiga anak mereka menguasai masing-masing 8 persen. Pergeseran ini disebut jadi fase transisi kendali bisnis keluarga.

Sherly juga menjadi direktur sekaligus pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, induk konsolidasi berbagai perusahaan keluarga Laos-Tjoanda tersebut. Kepemilikan mendiang suaminya masih terlihat di entitas-entitas bawah grup ini, seperti PT Bela Kencana 40 persen, PT Bela Sarana Permai 98 persen, dan PT Amazing Tabara 90 persen.
PT Bela Co, melalui konstruksi, menguasai 30 persen saham di PT Indonesia Mas Mulia 85 persen dikuasai Bela Group. Anggota keluarga dekat, termasuk Robert Tjoanda, juga memiliki bagian kecil 1 persen, menandakan jaringan perusahaan terintegrasi dalam lingkar keluarga.
Wilayah operasional perusahaan tersebar luas di Maluku Utara, mencerminkan luasnya jejaring usaha keluarga Laos-Tjoanda di sektor sumber daya alam.

Izin Tambang Terbit saat Momentum Politik
Jatam juga menemukan izin baru untuk PT Karya Wijaya–terutama di Halmahera baru terbit pada Januari 2025, saat Sherly mencalonkan diri sebagai gubernur Maluku Utara menggantikan mendiang suaminya. Jatam menilai proses izin perusahaan ini janggal.
Julfikar Sangaji, koordinator simpul Jatam Maluku Utara menduga ada potensi pelanggaran kepentingan muncul dari tumpang tindih kewenangan eksekutif dan kepentingan ekonomi di balik izin tersebut. Konsesi tambang masuk dalam sistem database Minerba atau MODI tanpa proses lelang, izin penggunaan kawasan hutan (PPKH) belum lengkap, dan tidak ada jaminan reklamasi.
“Investigasi DPR RI dan dorongan masyarakat sipil menunjukkan bahwa pengawasan terhadap operasi perusahaan milik keluarga kepala daerah lemah, memungkinkan pelanggaran regulasi dan potensi kehilangan penerimaan negara,” terang Julfikar.
Di balik konflik kepentingan, ekspansi tambang keluarga tersebut meninggalkan jejak kerusakan, seperti pencemaran dan deforestasi di Pulau Obi, pencemaran sungai dan krisis air bersih di Halmahera Selatan, konflik ruang hidup di Pulau Gebe akibat tumpang tindih konsesi.
Alih-alih melindungi warga dan ekosistem, tambah Julfikar, terdapat indikasi bahwa kepentingan ekonomi keluarga memberi insentif bagi pengelolaan SDA yang dikendalikan oleh pejabat publik.
Secara hukum, pelanggaran etika dan potensi konflik kepentingan muncul karena rangkap jabatan kepala daerah sebagai pengurus atau pemegang saham perusahaan swasta. UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah, dan Peraturan KPK menegaskan larangan konflik kepentingan dan rangkap jabatan bagi pejabat publik.
“Praktik semacam ini berisiko melanggar aturan formal dan merusak kepercayaan publik,” jelas Julfikar.

 
											
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.