Puluhan buruh yang tergabung dalam Pusat Persatuan Buruh-Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia PT Indonesia Weda Bay Industrial Park atau PPB-KASBI PT IWIP turun ke jalan, pada Kamis, 6 November 2025. Mereka menggelar aksi di depan kantor DPRD dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Halmahera Tengah, menyuarakan berbagai persoalan perburuhan dan kemunduran demokrasi di Indonesia.

Massa membentangkan spanduk bertuliskan: “Wujudkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pro Buruh, Stop Eksploitasi Buruh, Upah Murah Dan Badai PHK”. Aksi ini sekaligus menjadi deklarasi bahwa PBB PT IWIP resmi berafiliasi dengan KASBI dan kini bernama PUK PBB-KASBI PT IWIP.

Isra Muhlis, Ketua PPB-KASBI PT IWIP, mengatakan buruh hari ini makin terombang-ambing di tengah sistem ekonomi kapitalisme global dan deregulasi ekonomi yang semakin liberal, hingga maraknya investasi dan hilirisasi nikel. “Undang-undang ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi buruh, berubah menjadi alat legitimasi eksploitasi dan pemiskinan struktural,” jelas Isra.

Menurut Isra, pemerintah menjadikan investasi sebagai dalih untuk mempertahankan upah murah, memperluas sistem kontrak kerja dan outsourcing, hingga pemagangan yang berkepanjangan. Buruh, katanya, selalu dihadapkan pada pilihan yang tidak adil: bekerja dengan gaji tak layak, atau tidak bekerja sama sekali.

Isra menyebut Undang-undang Cipta Kerja Nomor 6/2023 sebagai pintu masuk eksploitasi modern–yang membuat buruh dianggap semata komponen biaya produksi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/2024 sempat memberi harapan karena memerintahkan pemerintah membuat RUU Ketenagakerjaan baru, terpisah dari UU Cipta Kerja. Namun, menurut Isra, pemerintah tak kunjung menjalankan konstitusi.

“Namun jika melihat dalam situasinya saat ini, pemerintah masih pasif dalam mendorong pembahasan RUU Ketenagakerjaan yang baru, padahal ini perintah konstitusi yang harus segera dilakukan untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan kaum buruh
Indonesia,” tegasnya.

Selain isu perburuhan, massa juga menyentil kemunduran demokrasi. Rico Tude, salah satu massa aksi, menyebut indeks demokrasi Indonesia terus merosot sejak era SBY dan memburuk di masa Jokowi hingga memasuki pemerintahan baru.

Rico menyinggung aksi nasional Agustus-September 2025 lalu, di mana seorang pengemudi ojek daring Affan Kurniawan, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi di Jakarta. Mobilisasi besar-besaran itu menghasilkan ratusan penangkapan.

“Setidaknya 5.444 massa aksi yang ditangkap; 33 menjadi korban kekerasan, 2 orang masih hilang, dan 997 tersangka, di mana 295 adalah anak di bawah umur,” ujar Rico.

Dalam aksi ini, buruh membacakan 12 tuntutan, di antaranya:

1. Sahkan Undang-undang Ketenagakerjaan pro Buruh;
2. Berlakukan Upah Layak Nasional, secara adil dan bermartabat, naikan upah tahum 2026, minimal sebesar 15%;
3. Hentikan Badai PHK dan Eksploitasi Buruh : system kerja kontrak, outsourcing, dan kerja magang ;
4. Lindungi buruh perempuan, Stop Pelecehan dan kekerasan ditempat kerja – segera ratifikasi Konvensi ILO 190;
5. Jamin dan lindungi hak-hak buruh pertambangan, dan seluruh buruh pada industri lainnya, sector pendidikan serta pekerja medis dan Kesehatan;
6. Turunkan harga Sembako, BBM, dan Tarif Dasar Listrik;
7. Hentikan represifitas dan kriminalisasi aktivis gerakan rakyat, bebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap;
8. Stop Perang, blockade ekonomi dan Genosida : Dukung Kemerdekaan Palestina;
9. Hentikan PHK, Mutasi dan Pemutusan Kontrak Kerja Secara Sepihak;
10. Barikan hak cuti haid tanpa syarat bagi pekerja perempuan;
11. Berikan fasilitas ruang aduan dan masa rehabilitas trauma bagi pekerja korban pelecehan seksual;
12. Bentuk segera Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD K3) yang bertempat di Desa Lelilef untuk pengawasan dan pengembangan sistem manajemen yang lebih baik.

Rabul Sawal
Editor