Salawaku Institute mengkritik proses pembahasan dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) serta Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) peningkatan kapasitas produksi tambang nikel PT Nusa Karya Ariondo (NKA) yang digelar Komisi Penilai Amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup, via zoom pada Rabu, 10 Desember 2025. Forum tersebut dinilai berlangsung tanpa transparansi dan minim keterlibatan masyarakat terdampak.

M. Said Marsaoly, Direktur Salawaku Institute, mengatakan akses publik terhadap dokumen terbatas, undangan bersifat selektif, dan masyarakat terdampak tidak mendapatkan penjelasan memadai atas rencana ekspansi perusahaan tambang nikel ini. Forum ini ia sebut sekadar formalitas administratif ketimbang mekanisme kehati-hatian lingkungan.

“Lebih mengkhawatirkan lagi, dokumen yang disajikan memuat sejumlah indikasi ketidaktelitian, termasuk munculnya nama kabupaten lain yang tidak relevan, yang menimbulkan dugaan kuat bahwa sebagian materi dalam dokumen Amdal ini merupakan hasil copy-paste dari proyek berbeda,” jelas Said dalam siaran pers yang diterima Kadera.

Ia meragukan keabsahan baseline data, analisis dampak, hingga rekomendasi pengelolaan lingkungan. “Jika ada data palsu atau hasil salinan, mereka harus bertanggung jawab,” ujar Said.

Sumber: Salawaku Institute

Rencana ekspansi PT NKA mencakup peningkatan kapasitas produksi di Blok Moronopo dari 4 juta menjadi 7,5 juta ton per tahun, penambahan bukaan lahan tambang seluas 206,65 hektar, pembangunan infrastruktur baru, serta terminal khusus di Sangaji Selatan.

Said menilai, kombinasi ini berpotensi memperparah sedimentasi pesisir Moronopo yang selama ini telah merusak terumbu karang, ekosistem mangrove, dan wilayah tangkap nelayan. Ia juga mempersoalkan penghentian penggunaan geotextile tube tanpa ada laporan evaluasi, datas TSS, maupun teknologi pengganti.

Selain risiko terhadap pesisir, Said menilai pembukaan lahan baru akan meningkatkan risiko banjir, longsor, dan hilangnya habitat satwa. Ekspansi ini juga mengancam bentang kebun pala, damar, dan gaharu milik masyarakat Mabapura.

Salawaku mencatat, di dalam izin usaha pertambangan PT NKA, terdapat 5.777 hektar hutan lingkung. Sebanyak 111 hektar telah dibuka melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Said bilang, sisanya 5.665 hektar harus ditetapkan sebagai zona larangan tambang. Kementerian tidak boleh lagi menerbitkan IPPKH tambahan.

Said memperingatkan bahwa area konsesi bersinggungan dengan ruang hidup masyarakat adat O’Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam. Tanpa mekanisme free, prior, and infromed consent (FPIC), proses Amdal dianggap cacat hukum dan melanggar hak asasi manusia.

Said menambahkan bahwa hingga kini PT NKA belum membuka data pemantauan kualitas air Moronopo, peta tambang aktif, maupun hasil studi akademik seperti Penelitian Universitas Khairun Ternate yang disebut-sebut dilarang dipublikasikan.

“Ini merupakan pelanggaran hak publik atas informasi lingkungan yang harus segera diperbaiki,” ujar Said.

Salawaku mendesak pemerintah menunda penilaian RKL-RPL dan menggelar pembahasan ulang secara tatap muka yang inklusif. Mereka juga meminta publikasi penuh dokumen Amdal, menerapkan FPIC untuk komunitas adat O’Hongana Manyawa, penghentian ekspansi sebelum terbitnya persetujuan lingkungan, serta pembentukan mekanisme pemantauan berbasis masyarakat.