INGATKAH kita pada saat seekor semut yang pernah berkata: “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”

Ayat itu sering kita baca sebagai kisah kecil—indah, nyaris jenaka. Padahal ia menyimpan satu kecerdasan yang hari ini justru terasa langka: kesadaran akan risiko. Semut itu tidak menantang. Tidak berorasi. Ia hanya membaca situasi. Tanah bergetar. Langkah besar akan lewat. Dan tubuhnya terlalu rapuh untuk bertahan di permukaan. Ia memilih masuk ke sarang.

Yang menarik, semut itu tidak menyebut bala tentara sebagai musuh. Ia hanya berkata: mereka tidak menyadari. Kritik tanpa kebencian. Kesadaran tanpa dendam. Sebuah etika yang terasa dewasa.

Kita hidup dengan peta. Dengan kajian. Dengan istilah teknokratis yang panjang dan meyakinkan: zona rawan longsor, kawasan rawan banjir, wilayah patahan aktif, daerah tangkapan air, kawasan lindung. Semua itu tidak lahir dari mitos, melainkan dari penelitian, pemodelan, pengalaman bencana yang berulang. Kita sendiri yang menetapkannya dalam RTRW, Perda, dan dokumen resmi negara.

Pengetahuan itu terang. Terbuka. Bahkan dipresentasikan dengan grafik berwarna. Namun justru di wilayah-wilayah itulah izin pertambangan dan perkebunan skala besar diterbitkan. Sawit masuk ke daerah rawan banjir. Tambang dibuka di kawasan patahan dan zona longsor. Serta pegunungan rapuh. Hutan penyangga air ditebang di daerah yang sejak awal sudah ditandai merah di peta bencana. Di sini, semut tampak lebih jujur pada pengetahuannya sendiri.

Ia tahu batas tubuhnya. Ia tahu ruang. Ia tahu waktu. Ia tahu kapan harus mundur. Manusia? sebaliknya, tahu risiko—lalu bernegosiasi dengannya. Seolah longsor bisa ditunda dengan izin. Seolah banjir bisa dilunakkan dengan istilah mitigasi. Seolah gempa bisa dihadapi dengan asuransi dan siaran pers.

Kita tidak lagi bisa berkata “tidak menyadari”. Kita sadar sepenuhnya. Kita hanya memilih untuk melangkah terus. Barangkali di sinilah letak perbedaan mendasarnya. Semut membaca risiko untuk bertahan hidup. Manusia membaca risiko untuk menghitung untung-rugi. Ketika hitungan ekonomi lebih keras suaranya, peringatan ekologis menjadi bisik-bisik yang mudah diabaikan.

Maka ketika bencana datang, kita menyebutnya musibah. Kita lupa bahwa banyak di antaranya adalah konsekuensi dari keputusan yang sah, legal, dan terencana. Alam dipaksa menanggung beban yang sejak awal sudah kita tahu tak sanggup ia pikul.

Ada sesuatu yang retak di sini: jarak antara pengetahuan dan etika. Kita tahu, tetapi tidak patuh pada pengetahuan itu. Kita paham, tetapi tidak tunduk pada batas. Kita membaca peta, lalu melanggarnya dengan stempel resmi.

Yang menarik, semut itu berbicara sebagai kita, bukan aku. “Wahai semut-semut,” begitu katanya. Dan kita tahu, itu kesadaran kolektif yang mendahului keselamatan individu. Dalam dunia kita, manusia. Kita kerap memuja pahlawan tunggal, figur yang berdiri sendiri melawan arus. Tapi semut memilih jalan lain: menjaga kehidupan bersama, meski dengan cara menghindar.

Ia tahu siapa yang datang: Sulaiman, seorang nabi, seorang raja bersama bala tentaranya. Ia tak menutup mata terhadap kekuasaan. Namun perhatikan kalimat itu hingga selesai: “sedangkan mereka tidak menyadari.” Tidak ada tuduhan niat jahat. Tidak ada kebencian. Yang ada hanyalah pengakuan tentang bahaya yang lahir bukan dari niat buruk, melainkan dari ketidaksadaran.

Di sini bahasa Al-Qur’an terasa sangat halus. Kekuasaan digambarkan bukan semata sebagai kekejaman, tapi sebagai sesuatu yang bisa melukai justru karena ia terlalu besar untuk melihat yang kecil.

Baca Juga:Hutan

Semut itu memilih masuk ke sarang. Bukan karena takut hidup, melainkan karena tahu batas tubuhnya. Ia memahami skala. Ia tahu bahwa tubuh kecil tak selalu harus berhadap-hadapan dengan kaki yang berderap. Ada kebijaksanaan dalam mundur, ada etika dalam menghindar.

Barangkali di situlah pelajaran yang jarang kita baca: keberanian tidak selalu berarti maju. Bahwa bertahan hidup kadang justru menuntut kerendahan hati untuk mengenali posisi kita di dunia.

Dalam tafsir sufistik, kisah ini sering dibaca sebagai isyarat tentang kesadaran makhluk. Bahkan yang paling kecil pun memiliki pengetahuan tentang ruang, waktu, dan risiko. Ia membaca tanda-tanda. Ia peka pada getaran tanah. Ia mendengar langkah sebelum kaki itu menginjak.

Manusia modern sering melakukan kebalikannya. Kita merayakan keberanian menantang alam, membelah gunung, mengeringkan rawa, memaksa tanah bekerja lebih keras dari kemampuannya. Kita menyebutnya kemajuan. Sampai suatu hari tanah itu runtuh dan sungai meluap.

Dan saat itu tiba, kita berdiri terpaku—seolah terkejut. Mungkin pertanyaannya sederhana, dan justru karena itu menyakitkan: jika seekor semut saja tahu kapan harus masuk ke sarang, mengapa manusia—dengan akal, ilmu, dan kekuasaan—terus berjalan ke arah bencana yang sudah ia tandai sendiri di petanya?

Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.