DUA PULUH lima panggilan tak terjawab dari nomor tanpa nama, bikin terhenyak saat saya memeriksa ponsel yang tergeletak lama di atas meja kerja di rumah. Pertanyaan semakin bergeliat dalam benak, siapa pula yang menganggap saya sepenting ini. Semoga bukan kabar buruk.

Selama ini ponsel saya sepi notifikasi panggilan telepon karena tidak begitu penting dalam menjalankan pekerjaan sebagai hakim di pengadilan. Jarang ditunjuk memimpin sidang dalam kasus-kasus raksasa. Syukur-syukur ditugaskan sebagai hakim pembantu. Itu pun dalam kasus enteng. Bukan tanpa sebab, saya cukup payah menangani perkara.

Saat itu, suasana rumah sunyi ketika suami dan anggota keluarga lain sudah melempar tubuh ke atas kasur empuk—bersiap menjemput bunga tidur. Namun, perasaan saya semakin gelisah, karena belum ada panggilan susulan. Harapan perlahan-lahan tumbuh saat gelap memeluk semesta dan ingar-bingar terusir. Saya lalu meletakan ponsel di atas meja kerja sembari mendongak termenung.

Sepersekian menit, saat harapan hampir pupus, nomor tanpa nama itu kembali mendarat di layar ponsel. Dengan sigap saya memungut ponsel dan menekan tombol hijau.

“Halo, ada keperluan apa?” tanya saya—seketika suara serak lelaki penuh iba menyahut dari seberang telepon. Ia meminta bantuan. Ada kasus besar yang menyeret namanya. Tak perlu saya sebut ia siapa, karena dirahasiakan sebagaimana kesepakatan kami. Atau anggap saja ia bernama Iblis, bila perlu.

Dari seberang telepon, ia merengek dan memohon bak seorang bocah yang minta dibelikan permen. Saya bersikap terbuka dan memintanya bercerita. Bila ada cerita yang cukup rumit dalam pikirannya, isak tangis kembali pecah dari seberang telepon. Itu adalah cara kolot untuk mengelabui hati seorang, tapi saya tetap membiarkan ia komat-kamit.

Kami tenggelam dalam obrolan panjang meski hari semakin gelap pekat—membawa saya pada khayalan dunia kegelapan. Kalimat-kalimat yang ia rapal dari seberang telepon pelahan-lahan memahat pendirian dan meremukkan akal budi. Seperti sebuah mantra yang melumpuhkan target, saya tak berdaya. Hanya pasrah, pada nasib yang menguntungkan.

“Dan tentu ada jaminannya, Bu Jangkrik,” kalimat itu bikin terkejut, tapi tak perlu saya sebut apa jaminannya. Yang pasti, kali ini saya diminta menjadi “wakil Iblis” di pengadilan.

Seketika tawaran Iblis itu mengingatkan saya pada acara diskusi di kafe beberapa waktu lalu, saat seorang guru besar dari sebuah universitas diundang sebagai pembicara. Dan saya ikut nimbrung sebagai peserta. Guru besar menyampaikan ketimpangkan hukum yang membuat saya tertampar. Ia bilang, “Pada kasus kriminalisasi, yang ditegakkan bukan lagi hukum, tapi kekuasaan.”

Kalimat itu sempat bersarang di benak. Tapi memang tawaran menggiurkan dari Iblis, lebih dahsyat dari sindiran guru besar. Alih-alih menghindar, saya justru terjun bebas ke dalam jurang kebiadaban—toh, hal semacam itu sudah sering saya temukan dalam banyak kasus—beberapa rekan pun pernah menempuh cara-cara itu.

Akhirnya saya menerima proyek siluman dalam kasus hukum—ungkapan guru besar terbukti di diri saya. Dan ini kali pertama saya bakal mengawal kasus raksasa. Esoknya, secara tiba-tiba saya dinobatkan sebagai hakim ketua. Saya menduga Iblis itu sudah lebih awal berkongkalikong dengan orang-orang penting di pengadilan. Namun saya tak peduli, apakah ada atau tidak orang lain yang ikut bermain di balik kejahatan dan kecurangan yang kami rencanakan.

Bagaimanapun ketika tawaran Iblis sudah diterima, saya mesti menangani masalahnya, sekalipun sendiri dan bermodal otak pas-pasan. Saya merasa sebagai seekor anjing yang bakal bekerja maksimal untuk majikan.

Kapan lagi hakim standar saya mendapat jatah fantastis, bukan? Ini peluang. Ini peluang. Memutarbalikan fakta dalam persidangan cukup mudah dan bisa diatur sesuai jaminan yang ditawarkan. Sudah tentu, akan mencabik-cabik para terdakwa saat sidang nanti, kendati mereka dipihak yang benar. Saya akan menjebloskan mereka ke dalam bui dan membebaskan yang punya kuasa dari jeruji besi.

“Dalam sistem hukum dan penegak yang buruk, palu sidang itu hanya bisa ditegakkan dengan makanan siang dari siapa. Lalu bersembunyi dalam jubah keadilan. Apakah kamu bersedia sajikan makan siang?” Batin saya sembari tersenyum sinis usai menerima telepon dari seberang. “Hahaha.” Ini memang jalan setan dan sangat brengsek hanya untuk meraup keuntungan pribadi.

Pada sidang perdana, kuasa hukum terdakwa kebakaran jenggot. Mereka mengajukan pembelaan dan minta membatalkan semua dakwaan jaksa penuntut umum. Agar terlihat profesional, saya menyembunyikan topeng kepalsuan dengan menampung eksepsi yang menjengkelkan itu.

Semula, sidang dakwaan berjalan alot. Hanya suara hakim, jaksa dan pengacara yang meraung dalam ruang sidang. Sedangkan para terdakwa berwajah murung bersama keluarganya duduk mematung—sembari mendengar khidmat.

Saat itu, embusan AC dalam ruang sidang membuat semua orang menggigil kedinginan dan nyaris beku. Namun, suasana tiba-tiba riuh dan udara terasa gerah ketika saksi-saksi yang sudah kongkalikong bersama kami dicecar kuasa hukum para terdakwa. Wajah mereka pucat pasi, dan peluh mengucur deras memenuhi tubuh. Pengakuan demi pengakuan kebenaran peristiwa perlahan tersingkap. Siapa pun yang memasang kuping dengan teliti, bakal sadar ada ketidakberesan dalam kasus.

“Mereka datang tidak mengancam siapa pun. Hanya saja, sempat saling cecar dengan aparat kepolisian. Itu menjadi alasan mereka diboyong ke kantor polisi,” begitu pengakuan semua saksi yang hadir dalam sidang.

Menyaksikan kebrutalan kuasa hukum terdakwa, saya tak bisa menyembunyikan kesan panik di wajah. Tubuh pun ikut terkulai lemas. Setidaknya, ada sepuluh saksi dari pihak kami justru menguatkan terdakwa tidak bersalah, tak terkecuali saksi dari pihak terdakwa. Tidak lebih. Tidak kurang. Beruntung operator di pengadilan berhasil mengatasi masalah. Sound sengaja dibikin eror dan pengakuan-pengakuan saksi terputus-putus. Saya menduga orang-orang yang nongol dalam sidang pun kesulitan menangkap ucapan para saksi.

Pada sidang lanjutan, saya tak menerima pembelaan kuasa hukum terdakwa. Sebab, itu sama saja memanggang diri sendiri. Meski bikin terkesima, keterangan cerdas dalam persidangan yang lebih condong ke terdakwa, pun saya abaikan. Syahdan, pada sidang tuntutan, saya perlakukan mereka hingga tak berdaya. Bagi saya, bukan siapa cerdas, tapi siapa yang berkuasa. Selagi kasus ada di tangan, maka seburuk-buruknya hukum akan saya manfaatkan.

***

SEBAGAI GADIS kampung yang berusia 15 tahun, saya mengira hakim itu wakil Tuhan. Memutuskan salah dan benar perbuatan seseorang di mata hukum dengan sebaik-baiknya. Tapi ternyata ia juga sebagai wakil Iblis dan memutarbalikkan fakta di pengadilan. Kebenaran ditegakkan tergantung jaminan-jaminan sialan.

Ayah saya termasuk salah satu korban wakil Iblis. Itu saya tahu dari cerita ibu, saat ayah dituduh bersalah dan mendekam di dalam penjara hanya karena mempertahankan tanah leluhur dan rumah-rumah adat kami yang sudah diobok-obok ekskavator milik perusahaan tambang nikel. Kini, sudah hampir sepuluh bulan ayah ditangkap dan mendekam di dalam penjara sembari menunggu putusan pengadilan.

Padahal, kata ibu, tanah dan rumah-rumah adat itu sudah diwariskan kakek buyut sebelum negara ada, dan sebelum orang-orang asing sialan itu hadir. Entah dari mana mereka datang, tiba-tiba mengklaim tanah itu milik mereka. Sedangkan batang hidung mereka tak pernah sekalipun saya lihat di kampung.

Setiap akhir pekan, saya dan ibu selalu besuk dan membawa bekal untuk ayah yang dikurung dalam jeruji besi bersama dua paman saya, Kapa dan Kona. Kami biasanya melintasi koridor sempit dalam rumah tahanan, hingga sampai pada sel yang dihuni ayah. Setiap kali bertemu ayah, perasaan saya berkecamuk dan air mata tiba-tiba membasahi pipi mungil.

Di dalam penjara, ayah selalu mengenakan sehelai sarung dan baju kumal. Tampak tak terawat. Dari hari ke hari, tubuh ayah semakin kerempeng. Pipi kanan dan kirinya nyaris menyatu. Rambut ikalnya menjulur sejajar dengan telinga pun terlihat berantakan.

Melihat saya datang membawa renteng makanan, ia berusaha melongok dari balik sarang besi, hanya untuk mengecup dahi saya. Namun, berulang kali ia lakukan, celah-celah besi tak bisa memuat kepala ayah. Perasaan semakin sedih, saat telapak tangan kasar ayah mendarat lembut di kepala. Ia mengelus-mengelus rambut ikal saya dan mengingatkan agar lebih banyak makan.

Saya hanya mengangguk meski tak paham, apakah dengan makan seorang bocah bakal cepat dewasa atau tidak. Namun, saya tak ingin dewasa jika harus diperlakukan seperti ayah—mendekam dalam penjara; kesepian, jauh dari hiruk-pikuk orang-orang di desa, terpisah dengan keluarga di rumah.

Mungkin ia berharap agar saya meneruskan perjuangan dan mempertahankan hak kami. Tapi bagaimanapun saya tak mengerti seperti apa hukum dan keadilan ditegakkan di negeri ini. Saya hanya paham suatu tindakan sewenang-wenang ketika permen milik saya dirampas teman. Dan, saat itulah mesti mengambil kembali hak saya sekalipun harus adu jotos. Bukan soal pelit. Saya rasa itu soal hak milik.

Apalagi, ayah dan ibu kerap mengingatkan, bahwa tak boleh merampas milik orang, dan harus dipertahankan jika milik kita. “Kalau barang itu milik kita, tak boleh dibiarkan, Mawar. Kamu harus rebut kembali. Kalau tidak melawan, kita bakal terus diinjak-injak,” kata ayah dan ibu kala itu.

Ibu bercerita, ayah memang sudah lama mempraktikkan ucapannya. Bahkan sebelum saya jadi orok. Tanpa memukul dan adu jotos dengan siapa pun, kala itu ia hanya datang menanyakan kenapa mereka rampas tanah dan menggaruk-garuk rumah adat kami. Namun kali ini, ia benar-benar marah. Tangan-tangan ekskavator mulai brutal mengorek-ngorek perut bumi, tepat di atas tanah warisan buyut kami—nyaris membunuh semua makhluk hidup di sekitar situ.

Syahdan, kata ibu, ayah benar-benar kebakaran jenggot. Ia berencana menghampiri ekskavator nakal itu. Tepat ketika mentari belum merangkak di balik punggung bukit, ayah bersama dua paman bergegas menemui karyawan, di lokasi ekskavator beroperasi dan menanyakan di mana pemilik perusahaan.

Mereka masuk menerobos hutan, menempuh puluhan kilometer jalan. Namun, sebelum mereka tiba di titik lokasi, gerombolan aparat berseragam cokelat dan loreng sudah mengadang. Ayah hanya ingin bertemu dengan orang yang mengklaim tanah, tapi diperlakukan seperti anjing jalanan.

“Ekskavator itu sudah punya izin dari negara untuk meremukkan rumah adat kalian, dan mengorek-ngorek perut bumi. Kamu tak punya hak untuk menghentikan mereka. Itu tindakan ilegal,” kata seorang aparat garang dengan plintir kumis tebal di wajahnya.

“Mereka (perusahaan dan ekskavator) ilegal di mata kami. Masuk tanpa izin di rumah orang itu pencuri. Perampok. Negara, pemerintah, pengusaha yang sewenang-wenang harus enyah di tanah ini,” ucap ayah tersulut emosi.

“Tanah ini ada sebelum negara ada. Leluhur kami merawat dengan sepenuh hati. Itu nyawa kami. Itu kehidupan kami. Itu rumah kami. Persetan kalian semua.” Suara ayah meninggi dan mulut gemetar. Lantas mengamuk sejadi-jadinya.

Gerombolan aparat datang seperti lalat mengerumuni tahi. Leher ayah dicekik dan tubuhnya digebuk habis-habisan. Melihat ayah diperlakukan kasar, dua paman saya pun ikut mengamuk. Namun, gerombolan polisi tak gentar dan kembali mempelintir leher paman. Mereka diseret di atas tanah dan kerikil tajam, sejauh 1 kilometer ke arah mobil patroli.

Wajah bonyok, dan sekujur tubuh lebam penuh luka gores itu diboyong ke kantor polisi. Mereka dituduh menimbulkan huru-hara, mengancam nyawa orang lain, dan menghalang-halangi operasi pertambangan. Tak seperti biasanya, ayah dan paman jadi tersangka secepat kilat. Dan, kemudian jadi terdakwa di pengadilan.

***

SEMALAM SUNTUK materi vonis bersalah sudah kususun rapi. Karena hari sidang putusan telah tiba. Di pelataran pengadilan, saat kami berpapasan, orang-orang yang bersolidaritas menggeretakkan gigi dan mengendus seperti kebo. Tapi kami tak gentar. Saya dan jaksa tak akan membebaskan terdakwa. Kami sudah dapat jaminan menggiurkan dalam masalah ini. Para terdakwa akan kami vonis bersalah, sesuai keinginan “Si Iblis”, pemesan kasus.

Saya masuk dalam ruang sidang ketika matahari hampir sejajar di atas kepala dan awan berderet bak gula kapas. Diiringi riuh suara protes dari megafon yang sangat mengusik telinga. Mata mereka melotot penuh amarah. Barangkali ingin menekan psikologi saya dan bisa mengubah putusan bersalah jadi pembebasan terdakwa.

Perjalanan sidang tetap dalam kendali saya. Barangkali akan menjadi sejarah kelam, dan mencoreng muka saya sendiri di tengah masyarakat, serta lapisan generasi mendatang. Tak mengapa. Itu memang pilihan anjing kurap seperti saya, yang sudah berselingkuh dengan Iblis dan bermain di balik konflik warga desa.

Sejak awal saya memang sengaja tutup mata, kuping dan hati. Saya sangat sadar, dari keterangan saksi, para terdakwa tak bersalah. Dan, itu menjadi bukti kuat untuk membebaskan terdakwa. Namun, itu tidak mungkin saya lakukan.

Selain terdakwa dan kuasa hukumnya, saya bikin semua yang bersolidaritas dalam kasus ini menjadi kelimpungan dan lengah. Selama ini mereka cukup keras kepala. Saya kenal karakter masyarakat di desa, sejak tempo dulu jiwa perawanan mereka sudah tumbuh. Tak pernah mundur selangkah—apalagi untuk mempertahankan tanah, hutan, sungai, rumah adat, yang juga sebagai harga diri dan warisan leluhur.

Namun, saya juga akui bahwa hukum memang bisa dibeli. Termasuk membeli harga diri dan mengamankan kasus dalam katong-katong penegakan hukum seperti saya. Toh, sekali saja dalam kasus ini, saya rasa tak mengapa. Hanya sekali. Hanya sekali kesengajaan ini saya lakukan dan mengkhianati saudara-saudara saya.

Untuk kesekian kalinya dinding, plafon, kursi, meja, lantai, dalam ruangan sidang yang luasnya 5×10 meter persegi ini, bakal muak menjadi saksi bisu bagaimana perilaku buruk saya ketika memoles dalil-dalil omong kosong bersama dua rekan yang lebih goblok dari saya.

Kami duduk pada sebuah bangku dan meja yang penuh dengan tumpukkan kertas. Kami punya kuasa penuh atas nasib dan label sosial sekeluarga yang tak patah arang ini. Orang-orang mulai berduyun-duyun menerobos masuk ruang sidang dan mengambil tempat duduk. Ketegangan dan harapan diramu dalam setiap helaan napas. Tepat di depan kami, tampak wajah-wajah “pembangkang” itu duduk berderet di bangku terdakwa. Sedangkan pada sisi kiri dan kanan ruangan, jaksa dan kuasa hukum duduk berhadap-hadapan dan hendak saling menerkam.

Di tengah hiruk-pikuk ruang sidang yang sebentar lagi dibuka, saya cukup tersentuh melihat wajah bocah perempuan 15 tahun menatap sayu ke arah seorang lelaki yang duduk di bangku terdakwa. Saya menduga lelaki itu adalah ayahnya.

Saya membayangkan, saat kejahatan ini terungkap, kelak anak saya bisa bernasib sial seperti bocah itu. Sebagai seorang ibu, naluri saya masih berjalan. Diperlakukan tidak adil memang tidak mengenakan. Tapi, selagi bukan kami yang alami dan palu sidang ada di tangan, saya akan menebas siapa pun yang menghalangi.

Bocah itu tiba-tiba menegakkan kepala, dan menatap ke arah saya. Sorot matanya menghujam dan memelihara api. Mungkin hanya palu pembebasan yang bisa memadamkannya. Namun, tidak semudah itu. Sejak awal kasus ini masuk ke pengadilan, hati nurani kami dipaksa mati. Saya manfaatkan seburuk-buruknya hukum, demi diri saya dan orang-orang jahat bersama kami.

“Tok, tok, tok,” ketukan palu sidang menggema, membenturkan harapan-harapan pembebasan di dalam ruangan. Suasana mulai tegang ketika saya membuka sidang. Kecemasan berbuah keringat mengucur dari kening terdakwa. Setiap kalimat yang terucap, mata saya berkontak dengan mata bocah itu. Dari matanya, kobaran api semakin membara, seolah ingin memanggang saya hidup-hidup. Mungkinkah bocah itu paham dan mengerti soal hukum: mana yang salah dan maha yang benar?

Proses persidangan berjalan panjang. Semua orang dalam ruangan mendengar takzim kalimat yang saya bacakan—membunuh mimpi para terdakwa yang tak bersalah, dan memperpanjang waktu mereka dalam jeruji besi. “Saudara Jandri, Kapa dan Kona, kalian divonis bersalah dengan penjara kurungan satu tahun enam bulan, karena menghalang-halangi operasi pertambangan di tanah milik perusahaan Sabararupa yang jelas-jelas sudah direstui negara! Kalian melanggar UU Minerba!” kalimat itu menghujam terdakwa. “Tok, tok, tok.”

Suasana dalam ruangan gaduh. Terikan protes memenuhi seisi rungan disusul sumpah serapah. Di tengah kegaduhan, saya beringsut dan hendak meninggalkan ruang sidang. Tiba-tiba bocah perempuan itu datang menghampiri dan menarik jubah kebanggaan saya.

“Bu Jangkrik, punya anak? Berapa usianya? Apakah ia seusia saya? Mungkinkah dia menangis dan sakit hati ketika ibu dipenjara karena memenjarakan ayah saya yang memperjuangkan tanah leluhur dan rumah adat kami?”

Sialan. Berani-beraninya bocah ini menanyakan hal yang tak penting. Saya tak menggubris dan buru-buru meninggalkan ruang sidang.

***

SOROT MATA perempuan tua di depan sana selalu mengarah kepada saya. Ibu berbisik, ia bernama Bu Jangkrik. Ada semacam kesedihan yang palsu dari air mukanya saat melihat tangan ayah dan dua paman saya diborgol. Saya semakin geram ketika menangkap senyum sinis dari wajah penuh kerutan itu. Semoga, ia segera dicabik-cabik malaikat maut. Sebagai seorang bocah, saya hanya bisa berdoa seperti itu.

Saya beringsut ke pangkuan ibu, tepat di belakang bangku yang diduduki ayah. Saat itu, saya tak tahu apa yang mesti saya lakukan. Hanya harapan baik yang saya inginkan—ayah dibebaskan dari penjara. Namun ketukan palu sidang penutup memantik amarah ibu. Ia berteriak histeris di ruang pengadilan.
“Di sini, tempat untuk memenangkan Iblis. Terkutuklah kalian,” ibu meraung marah—membakar semangat massa di muka pengadilan.

“Bebaskan korban kriminalisasi,” teriakan massa aksi disambut represi aparat kepolisian.

Saya bimbang. Apa sebetulnya hasil putusan sidang. Saya beringsut menghampiri ibu yang sedang berdiri marah dan mengacukan jari tengah ke arah hakim dan jaksa. Saya memeluk dan menenangkan ibu. “Sudah, Bu. Sudah, Bu,” pinta saya menangis ketakutan. Dua tangan ibu lantas melingkar di tubuh saya. Air dari kelopak matanya mengucur deras bak air terjun.

“Apa yang terjadi, Bu?” Bibirnya mendarat di kening dan kedua pipi saya sebagai kecupan kasih sayang. “Hakim memutuskan ayah bersalah, Nak. Ayah akan dipenjara selama beberapa bulan lagi. Ini tidak adil,” kata ibu dengan bibir bergetar. “Di sini, hakim bukan sebagai wakil tuhan, tapi menjadi wakil Iblis, Nak. Wakil Iblis.” Sekujur tubuh saya terasa penuh api, dan ingin membakar para hakim dan jaksa.

Tepat ketika Bu Jangkrik berdiri dan ingin pergi, saya segera berlari dan menarik jubahnya. Saya hanya mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin menohok. Namun, pertanyaan saya tak digubris. Bu Jangkrik pergi tanpa menjawab sepatah kata apa pun. Sialan! (*)


*Selain sebagai jurnalis Kadera.id, penulis merupakan pegiat literasi di Perpustakaan Independensia, yang gemar membaca karya-karya sastra seperti cerpen dan novel.