ORANG-ORANG masih kepikiran bencana, tiba-tiba muncul foto tokoh penting dalam proyek makanan bergizi sedang bermain golf. Penampilan yang necis dan gagah. Ia berada di lapangan golf, yang hijau dan indah. Sosok yang biasa memberi penjelasan dan perintah di depan kamera. Ia yang menentukan lakon makanan bergizi (gratis) di seantero Indonesia. Peristiwa bermain golf itu menimbulkan kecewa dan kemarahan publik.
Mata publik serius dan lama mengarah ke bencana di Sumatra. Mata pun mengarah kepada pemerintah, yang tampak belum serius dalam mengurusi derita rakyat. Pusing sedang melanda. Kemarahan terus membesar. Penyesalan tak kunjung reda. Hari-hari yang membuat kita terpuruk, melihat Indonesia yang disia-siakan.
Kegembiraan justru tampak melalui penampilan sosok yang bermain golf, 14 Desember 2025. Konon, ia bermain golf bukan sekadar olahraga atau senang-senang. Golf dijadikan alasan pengumpulan dana disalurkan kepada para korban bencana. Keterangan disampaikan tanpa rasa bersalah dan wajah prihatin. Publik boleh tercengang dan percaya: golf memiliki hubungan dengan bencana. Pikiran kita diharapkan jernih, tidak mudah menuduh macam-macam sambil geram.
Pada masa lalu, golf itu terlalu bermasalah. Ribuan protes bermunculan gara-gara golf. Yang tampak adalah penguasa dan para pejabat suka bermain golf. Foto mereka menandakan Indonesia sudah makmur. Golf yang dicap sebagai olahraga mahal sudah mampu dilazimkan di Indonesia. Konon, golf menentukan pelbagai mufakat politik dan bisnis. Golf dirayakan oleh elite politik, pengusaha, dan artis saat Indonesia masih memiliki celah-celah penderitaan. Golf berdampak buruk dalam permukiman, lingkungan, dan sosial-kultural. Indonesia justru sengaja dimoncerkan melalui golf agar tidak malu di mata dunia.
Kini, kita berpikiran golf lagi. Pemicunya adalah tokoh yang sering muncul di televisi bertema makanan tiba-tiba bicara golf dan bencana. Keterangan diberikan “terlambat” setelah publik memasalahkan foto main golf yang beredar di media sosial. Ia pasti tetap berpikiran serius makanan ketimbang golf. Kita harus percaya ia terus mengabdi demi kepentingan negara, bukan mencari kesenangan sendiri. Jangan menganggap ia tak prihatin terhadap bencana di Sumatra.
Kita belum mendapati kekecewaan atas ulah tokoh penting itu melalui puisi.-puisi baru Yang masih bisa kita warisi adalah puisi yang digubah Darmanto Jatman. Puisi berjudul “Golf Untuk Rakyat”, yang disajikan berkaitan keangkuhan rezim Orde Baru. Puisi itu teringat dan terbaca lagi meski dalam situasi berbeda.
Di majalah Jakarta Jakarta edisi 22 Mei 1993, kita menemukan dua halaman di rubrik “opini”, yang memuat foto petani memegang cangkul. Ia berada di lahan subur dipasangi papan bertuliskan: “Di sini sedang dibangun padang golf dan akomodasi pariwisata. Izin lokasi: Keputusan Gubernur Jawa Barat…. 6 April 1988.” Persoalan besar adalah lahan. Dampak yang ditanggungkan petani dan warga tidak sebahagia para pejabat atau pengusaha.
Di samping foto, kita membaca tulisan dijuduli “Golf Untuk Rakyat”. Kita membaca sambil mengingat lakon Indonesia pada masa Orde Baru: Lho, Kang Karto. Kok cuma ngelamun di kebun?/ Sudah pernah main golep apa belum?/ Kalau belum, ya tunggu sampai dapat dawuh/ Siapa tahu, sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan/ Langsung deh dapet hole in one. Bait agak memusingkan dengan adanya istilah-istilah yang aneh dan asing.
Yang ditulis Darmanto Jatman adalah sindiran, kritik, protes, atau gugatan yang menguak borok-borok Orde Baru.
Golf itu condong petaka ketimbang berkah bagi Indonesia. Kita membaca lagi: Ini perkara pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia/ Denmas Mantri Jerohan ngendika. Golf dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat!/ Sedang Mantri Kanuragan bilang: Golf pertanda masyarakat kita sudah lebih sejahtera!/ Lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang/ untuk menyejahterakan 200 juta rakyat?/ Berapa tumbal mesti dikorbankan/ untuk mengempiskan kantong-kantong kemiskinan? Golf (sangat) dipentingkan, mendapat pembenaran melalui beragam peraturan dan omongan para pejabat.
Golf yang membuktikan Indonesia maju.
Yang kita baca adalah puisi dari masa lalu. Masalahnya berbeda dengan masa sekarang. Kita “dipaksa” berpikir golf gara-gara foto yang beredar dan pengakuan dari pejabat. Apakah kita bisa melupakan golf? Jawaban: susah.
Golf masih akan terus masalah di Indonesia. Pada akhir 2025, kita mencatat tentang golf dan bencana. Kita menyerah atau gagal mencari kausalitas.
Kita tidak perlu menanti puisi-puisi baru bertema golf. Pada saat belum rampung berimajinasi golf di Indonesia, kita tiba-tiba kedatangan berita dari tokoh yang sama. Beberapa hari lalu, ia main golf. Selanjutnya, ia bicara serius demi Indonesia. Ia tetap saja membikin pusing. Kebijakan yang sulit dipuisikan. Pejabat itu bilang bila menu makanan bergizi gratis tetap diedarkan ke sekolah-sekolah saat liburan. Murid-murid libur, tidak belajar di sekolah. Namun, murid-murid tetap menerima makanan asal mau mengambil di sekolah.
Publik makin sulit berpikir waras setelah golf. Makanan dianggap terlalu penting oleh pemerintah. Maka, liburan sekolah tidak dapat berarti liburan mengadakan makanan bergizi gratis. Urusan makanan menghasilkan untung besar tidak mengenal libur. Laba tidak boleh libur. Murid-murid yang libur mendapat bujukan atau “perintah” agar mengambil makanan. Yang tidak mau mengambil makanan seolah ikut bersalah gara-gara menjadikan makanan itu sia-sia.
Kita memilih menyerah jika dipaksa menemukan kebenaran dan kebaikan pemerintah dengan terus mengedarkan makanan saat liburan. Kita pun sia-sia memamerkan marah dan kecewa. Kebijakan pemerintah itu keramat. Jadi, segala protes atau kritik sulit berdampak. Ingatlah, makanan sangat penting bagi Indonesia, yang sebentar lagi dijanjikan sebagai negara besar di dunia.
Yang menyerah memikirkan lakon-lakon buatan pemerintah mendingan membaca puisi saja. Makanan terlalu “berkuasa” dalam keributan di Indonesia. Selama lima tahun, makanan masuk daftar tema utama dalam rezim Prabowo-Gibran. Kita diharapkan bersabar menantikan keberhasilan. Padahal, kita telanjur mengeluh dan bersedih.
Maka, membaca puisi tidak menyelesaikan masalah. Kita menikmati puisi berjudul “Sambel Bawang dan Terasi” gubahan Darmanto Jatman. Puisi yang (tidak) lucu bila dibandingkan kesibukan-kesibukan bertema makanan masa sekarang. Darmanto Jatman mengisahkan: Ngaisah Isah Isah:/ Sambel cocok betul untuk kita/ Pengganti lauk bagi kita yang tak/ berkecukupan/ Penambah selera bagi mereka yang/ tak pernah kekurangan/ Sambel terasi sangat bagus untuk/ pencernaan/ apalagi kalau dimakan dengan kol/ pete dan kacang panjang/ Lha sambel bawang sangat baik/ untuk penambah nafsu makan/ apalagi kalau untuk para petani penjual bawang tentunya. Puisi yang mustahil dipilih dalam propaganda raihan kesuksesan makanan bergizi gratis.
Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.