PALUNGAN tak hanya latar sebuah kelahiran. Mungkin lebih menyerupai sebuah pernyataan. Yesus—dalam kisah ini—hadir di ruang yang paling dekat dengan alam dan paling jauh dari kuasa. Jerami, binatang, dan malam yang terbuka menjadi saksi kelahiran yang tidak selalu menuntut kemegahan. Justru di situ, pada yang kecil dan rapuh itu, kehidupan menemukan bentuknya yang paling jujur: hadir tanpa ambisi, dan hidup tanpa harus menguasai yang lain.
Dari palungan itulah sebuah kisah bergerak—perlahan, nyaris tak terdengar—menyusuri sejarah yang gemar membesarkan apa yang semula kecil. Natal, yang bermula sebagai peristiwa sunyi di pinggiran, dalam perjalanannya sering ditarik ke pusat—menjadi perayaan resmi, kalender negara, bahkan dengan bahasa legitimasi. Yang lahir tanpa kuasa kemudian dipakai untuk memberi makna pada kuasa.
Di tanah-tanah jajahan, Natal datang bersama peta dan penamaan. Bersama sekolah, gereja, dan tata administrasi. Tidak selalu dengan kekerasan, tetapi dengan logika yang rapi: yang lama dianggap tertinggal, yang lokal dinilai belum terang. Tradisi adat perlahan dipinggirkan. Tanah yang hidup diberi batas dan fungsi baru. Iman—sadar atau tidak—ikut masuk ke dalam arsitektur pengaturan itu.
Di Nusantara, termasuk di wilayah-wilayah timur seperti Halmahera, Natal dirayakan dengan khidmat. Sementara di luar ruang ibadah, tanah leluhur berubah konsesi konsesi. Hutan diukur, sungai ditarik ke dalam skema produksi, dan relasi lama manusia-alam digantikan oleh izin dan angka. Perayaan berlangsung, tetapi palungan—dalam makna terdalamnya—sering tertinggal.
Jika kita perhatikan, cerita kelahiran itu lebih mirip kisah ekologis. Alam tidak disingkirkan, tapi ikut hadir. Tidak ada demarkasi antara manusia dan makhluk lain. Malam dibiarkan tetap malam. Bintang hanya memberi tanda dan tidak menguasai gelap. Inkarnasi—jika dipahami sebagai Tuhan yang masuk ke dunia—terjadi tanpa merusak rumah tempat Ia datang.
Natal adalah peristiwa iman Kristiani: keyakinan bahwa Tuhan memilih hadir dalam sejarah melalui kelahiran Yesus di palungan—tanpa istana, kekuasaan, juga tanpa jaminan keselamatan duniawi. Namun justru di titik kerendahan itulah kisah ini beresonansi melampaui batas gereja.
Dalam Islam, Isa, kita tahu lahir dari rahim Maryam—tidak dipahami sebagai Tuhan, tapi sebagai nabi, sebagai ayat: tanda tentang cara Tuhan bekerja melalui yang rapuh dan tak terduga. Maryam, perempuan suci yang mengandung dalam keterasingan, dimuliakan tidak dengan kuasa, tapi dengan kepasrahan.
Jika Injil menghadirkan palungan sebagai tempat kelahiran Yesus, Al-Qur’an menempatkan Isa di bawah pohon kurma—dua bahasa iman yang berbeda, namun sama menunjuk pada Tuhan yang memilih tanah, kesunyian, dan kerendahan sebagai tempat hadir-Nya.
Dalam pengertian inilah, palungan tak hanya simbol Kristen, melainkan bahasa spiritual bagaimana Yang Maha Tinggi memilih jalan rendah. Bahwa iman, entah dalam gereja atau masjid, diuji bukan oleh seberapa besar klaim kebenaran kita, tetapi oleh kesediaan untuk merunduk, mengingat, dan menjaga kehidupan yang kecil—yang sering kali pertama kali dilupakan oleh sejarah dan kekuasaan.
Kontrasnya terasa tajam hari ini. Natal dirayakan dengan cahaya berlimpah, dengan pohon-pohon plastik sementara bumi kelelahan. Pohon-pohon ditebang untuk kebutuhan yang tak selalu perlu. Sungai menanggung limbah aktivitas industri. Tanah adat dipetakan tanpa mendengar ingatan mereka yang hidup darinya. Perayaan inkarnasi berlangsung bersamaan dengan perusakan ciptaan.
Mungkin yang paling dalam dilukai oleh kolonialisme dan modernitas bukan hanya tanah, tetapi ingatan. Ingatan tentang bagaimana manusia pernah hidup tanpa merasa perlu menguasai segalanya. Ingatan tentang iman yang lahir dari keberpihakan pada yang kecil, bukan dari kedekatan dengan yang kuat. Ingatan tentang palungan sebagai kritik terhadap istana.
Dengan begitu, Natal dapat dibaca sebagai latihan mengingat—sebuah ritus sunyi untuk melawan lupa. Mengingat bahwa yang rapuh pernah dipilih sebagai pusat. Keselamatan, dalam cerita ini, tidak datang dari akumulasi kuasa, tapi dari keberanian untuk hadir tanpa menaklukkan.
Bagi wilayah-wilayah yang hari ini menghadapi tekanan ekstraksi—tambang, proyek besar, dan perluasan industri—latihan mengingat ini menjadi mendesak. Bertanya, tanpa suara keras: di pihak mana iman berdiri? Pada tanah sebagai rumah bersama, atau pada sistem yang mengurasnya atas nama kemajuan?
Natal, dalam makna ini, bukan terutama soal merayakan kelahiran Tuhan, melainkan ajakan untuk mengingat mengapa kelahiran itu memilih tempat yang rendah. Mengapa ia terjadi di ruang yang terbuka bagi alam dan makhluk lain. Dan apakah kita, setelah berabad-abad merayakannya, masih sanggup mendengar pesan sunyi dari palungan—dan dari pohon kurma—itu.
Pada akhirnya, jika palungan dan kurma adalah cermin yang diletakkan di hadapan zaman. Mungkin bisa mengingatkan kita kehidupan pernah dimulai tanpa ambisi menguasai. Tanah bukan komoditas, melainkan rumah. Alam tak hanya sebagai latar, tetapi kesatuan dengan apa saja yang hidup di dalamnya.
Mungkin dengan begitu, latihan mengingat ini menuntut kehati-hatian baru: dalam memperlakukan yang rapuh, dalam menyentuh tanah, dalam memaknai iman. Sebab, setiap kali kita lupa pada palungan maupun kurma, kita bukan hanya lupa pada sebuah kisah lama, tetapi pada tanah tempat kita berpijak—dan pada diri kita sendiri.
Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.