Komisi III DPRD Kabupaten Pulau Taliabu menilai pembatalan kontrak pembangunan ruas jalan Bobong–Dufo tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada pihak rekanan. Kegagalan proyek tersebut disebut mencerminkan adanya kelalaian serius dalam perencanaan dan penganggaran oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), khususnya Kepala Dinas selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Ruas jalan Bobong–Dufo merupakan infrastruktur strategis yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah karena berkaitan langsung dengan konektivitas dan kepentingan masyarakat luas. Namun, lemahnya manajemen pelaksanaan program menyebabkan proyek tersebut gagal direalisasikan secara optimal.
Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Pulau Taliabu, Budiman L. Mayabubun, kepada Kadera.id, Jumat, 26 Desember 2025, mengungkapkan sejumlah persoalan mendasar. Pertama, terjadi ketidakkonsistenan dalam perencanaan awal. Ruas jalan yang semula direncanakan sebagai Bobong–Talo kemudian berubah menjadi Bobong–Dufo, sehingga berdampak pada perubahan perencanaan teknis dan penganggaran.
“Kedua, meskipun telah dialokasikan anggaran sebesar Rp2 miliar dalam APBD Murni Tahun Anggaran 2025, pekerjaan tidak dilaksanakan dengan alasan kekurangan anggaran dan rencana penambahan hingga Rp6 miliar. Padahal, hal tersebut seharusnya sudah diperhitungkan sejak tahap perencanaan,” ujar Budiman.
Masalah ketiga, lanjut Budiman, setelah dilakukan penyesuaian anggaran melalui APBD Perubahan menjadi Rp2,6 miliar, proses tender atau lelang tidak segera dilaksanakan. Akibatnya, waktu pelaksanaan pekerjaan menjadi sangat terbatas.
“Keempat, ketidakkonsistenan perencanaan dan penganggaran tersebut berujung pada pemaksaan kontrak dengan masa pelaksanaan hanya 45 hari, yang dinilai tidak realistis. Dalam kondisi seperti ini, tidak tepat apabila seluruh tanggung jawab kegagalan proyek dibebankan kepada pihak rekanan,” tegasnya.
Atas kondisi tersebut, Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Pulau Taliabu meminta Bupati melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas PUPR, khususnya Kepala Dinas selaku PPK, guna memastikan akuntabilitas, kepatuhan terhadap perencanaan, serta perbaikan tata kelola pembangunan infrastruktur ke depan.
Meski demikian, politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa pihak rekanan tetap memiliki tanggung jawab penuh dalam pelaksanaan pekerjaan. Kemenangan tender, kata dia, tidak boleh hanya didasarkan pada kelengkapan administrasi, tetapi juga harus disertai kesiapan perangkat kerja, sumber daya, serta perencanaan pelaksanaan yang realistis.
Selain itu, kesiapan pengadaan material juga menjadi faktor penting. Rekanan wajib memastikan ketersediaan material sesuai standar teknis dan spesifikasi agar pekerjaan dapat dilaksanakan secara maksimal, meskipun waktu pelaksanaan terbatas.
“Bupati seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas PUPR, khususnya Kepala Dinas selaku PPK, sekaligus memperbaiki tata kelola perencanaan, penganggaran, dan pengendalian proyek infrastruktur agar tidak kembali merugikan kepentingan masyarakat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.