Sejumlah warga Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, diduga menjadi korban tembakan gas air mata dan pemborgolan oleh aparat kepolisian saat menggelar aksi menolak aktivitas PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) pada Senin, 28 April 2025.
“Beberapa warga mengalami luka-luka akibat tembakan gas air mata. Mulyadi Palangi terkena tiga tembakan di bahu dan lengan atas, Riski Boway tertembak di bagian kaki, dan Sulandra Asri tertembak di tangan. Insiden ini menyebabkan trauma, terutama pada ibu-ibu dan anak-anak yang turut serta dalam aksi,” kata Gurfan Kahar, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Maba Tengah, Haltim, dalam siaran persnya.
Menurut Gurfan, aksi tersebut menuntut penghentian aktivitas PT STS yang dinilai merusak lingkungan. Massa juga mendesak pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT STS, pemulihan hak-hak masyarakat adat, serta pertanggungjawaban atas penggusuran kebun kelapa di Dusun Memeli, Desa Pekaulang.
“Sebanyak 300 warga dari Desa Wayamli dan Yawanli berkumpul di Desa Pekaulang dan bergerak menuju kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino untuk menyuarakan penolakan,” ujarnya.
Namun, saat dalam perjalanan, puluhan personel Polres Haltim bersama anggota Brimob menghadang massa, sehingga terjadi ketegangan.
“Puluhan anggota Polres Halmahera Timur yang didukung 20–30 anggota Brimob menghadang massa. Petugas Brimob melepaskan tembakan gas air mata sekitar 10 kali ke arah warga yang berkumpul. Beberapa warga bahkan diborgol sebelum dipulangkan,” ungkap Gurfan.
Menanggapi insiden tersebut, Dinamisator JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji, mengecam keras tindakan aparat.
“Segala bentuk kekerasan terhadap warga, apalagi dalam aksi memperjuangkan ruang hidup mereka, tidak dapat dibenarkan. Sikap aparat memperlihatkan wajah negara yang lebih berpihak pada korporasi tambang nikel ketimbang pada rakyat,” tegas Julfikar.
Ia menuntut Pemerintah Daerah Halmahera Timur dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara segera menghentikan kekerasan terhadap warga serta meminta PT STS bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi.
“Kami juga menuntut penghentian seluruh aktivitas pertambangan di tanah adat yang telah merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat,” tambahnya.
Kecaman serupa disampaikan Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun, Mustadin Togubu. Ia menyatakan, tindakan represif aparat terhadap warga tidak semestinya terjadi.
“Aksi protes masyarakat Wayamli harus dipandang sebagai bentuk perjuangan mempertahankan tanah adat dan lingkungan hidup yang sehat, demi keberlangsungan hidup anak-anak dan generasi mendatang,” katanya.
Sementara itu, Kasi Humas Polres Haltim, IPDA Ajwan Maradjabessy, yang dikonfirmasi secara terpisah melalui pesan singkat terkait dugaan penembakan gas air mata terhadap warga, belum memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.