Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti tindakan represif aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata ke arah massa aksi masyarakat Wayamli dan Yawanli, Maba Tengah, Halmahera Timur, saat menolak tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS), pada Senin, 28 April 2025. YLBHI menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.
Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi YLBHI, mengecam keras kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Ia mendesak Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengusut tindakan represif tersebut, serta meminta Kapolri mengevaluasi kinerja kepolisian dalam menangani aksi massa, konflik agraria, dan persoalan masyarakat adat di Halmahera Timur.
“Kita minta pertanggungjawaban Kapolri karena, bagaimanapun juga, ia adalah pemimpin tertinggi di institusi ini. Ketika [aparat] di lapangan digunakan untuk memukul warga secara sewenang-wenang yang melanggar hukum di Haltim,” kata Zainal kepada reporter Kadera, melalui sambungan telepon, pada Rabu, 30 April 2025.
Zainal mengatakan, pihaknya telah menerima laporan dari Maluku Utara terkait tindakan represif aparat yang membalas perjuangan masyarakat adat dengan tembakan gas air mata, hingga menyebabkan korban. Padahal, masyarakat adat hanya berupaya mempertahankan ruang hidup mereka.
“Kami sedang berkomunikasi dengan kawan-kawan di Halmahera, Maluku Utara. Kita akan mengusut secara tuntas kekerasan yang dilakukan di Halmahera,” tegasnya.
Menurut Zainal, tindakan represif aparat terhadap warga yang menyuarakan hak atas ruang hidup merupakan bentuk pelanggaran hukum dan HAM. Ia mengingatkan bahwa hak menyampaikan pendapat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak mempertahankan tanah dan adat dijamin oleh UUD 1945.
Ia mengaskan, represif yang dilakukan pihak kepolisian merupakan bagian dari melanggar hukum dan hak asasi manusia, apalagi saat menyuarakan soal ruang hidupnya. Ia melanjutkan, penyampaian aspirasi dan pendapat yang itu dijamin dalam konstitusi.
“Negara, dalam hal ini kepolisian, telah melanggar konstitusi. Tentu saja, ini [jelas] pelanggaran HAM,” ujarnya.
Zainal menilai, kekerasan aparat dalam konflik agraria sudah menjadi pola berulang di berbagai daerah di Indonesia, dimana oligarki memperalat kepolisian untuk menekan perjuangan rakyat.
“Kita bisa melihat kepolisian sering masuk dalam pusaran-pusara bisnis dan ekonomi yang di dalamnya sering kali digunakan sebagai alat bagi pengusaha bagi Negera untuk memukul mundur warga perjuangan rakyat atau perampasan tanah-tanah rakyat,” katanya.
Ia mempertanyakan keberadaan polisi di lapangan, apakah sudah sesuai prosedur atau tidak. Sebab, menurutnya, masyarakat tidak menyerang, melainkan mempertahankan ruang hidup. Yang agresif justru perusahaan, yang memanfaatkan aparat. Tidak ada alasan bagi kepolisian menggunakan kekuatan berlebihan, apalagi sampai menembakkan gas air mata.
“Mereka [kepolisian] itu datang untuk mengamankan siapa. Apakah untuk memastikan bahwa alat-alat berati itu bisa merampas dan merusak lahan-lahan warga dan menganggap seakan-akan legal karena ada polisi di situ. Atau dia itu sebenarnya harusnya menjaga soal stabilitas untuk keamanan warga?” ujarnya.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.