Koalisi masyarakat sipil mengecam pernyataan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono, terkait konflik penolakan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur.

Pernyataan Kapolda Malut yang menekankan regulasi kehutanan dan prosedur administratif pengakuan masyarakat adat dianggap menyesatkan serta mengabaikan substansi konflik, yakni perampasan tahan, pencemaran lingkungan, dan kekerasan negara yang terjadi.

“Pernyataan Kapolda yang sekadar mengulang pasal-pasal hukum tanpa menyentuh akar konflik sosial-ekologis di lapangan menunjukkan sikap arogansi dan keberpihakan institusi kepolisian terhadap korporasi tambang,” jelas Muh. Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sebagaimana dikutip dari siaran pers, 30 April 2025.

Pada 29 April lalu, sekitar 300 warga dari empat desa di Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur, menggelar aksi damai menolak aktivitas perusahaan. Warga menilai, operasi PT STS  telah mencemari hutan, kebun warga, sungai, dan laut yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Muh. Jamil menegaskan, hak menyampaikan pendapat dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UU 1945, UU No.9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU  No.39/1999 tentang  Hak Asasi Manusia, serta dilindungi juga dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik–diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.

“Namun, dalam konteks politik hukum saat ini—yang dikuasai segelintir elit berlatar belakang pebisnis ekstraktif, termasuk tambang nikel—fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terus berkembang. SLAPP digunakan untuk membungkam dan menghukum warga yang memprotes daya rusak tambang, padahal  mereka tengah menjalankan hak yang dijamin konstitusi,” ujar Muh. Jamil.

Ia juga mengingatkan bahwa perjuangan lingkungan hidup bahkan dilindungi secara khusus melalui Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan: setiap orang yang diperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

“Maka, tidak ada dasar hukum untuk memanggil 20 warga dengan tuduhan menghalangi kegiatan tambang sebagaimana tertera dalam surat panggilan polisi,” ujar Muh. Jamil.

“Sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa surat panggilan tersebut adalah bentuk kriminalisasi dan SLAPP, yang melibatkan kolusi antara aparat kepolisian dan korporasi tambang perusak ruang hidup rakyat.”

Senada, Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kepolisian telah bertindak di luar mandat. Ia mengingatkan bahwa UU No.9/1999 hanya memperbolehkan aparat membubarkan massa jika aksi tak memenuhi syaray administratif, bukan mengkriminalisasi.

“Karena itu, kegagalan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan aksi tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan dan mengkriminalisasi warga melalui surat panggilan polisi,” terang Edy.

Edy juga menyoroti arogansi aparat yang justru membela korporasi, bertentangan dengan fungsi dasar kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No.2/2002. “Polisi adalah pelayan rakyat, bukan alat perusahaan.”

Sikap Kapolda dan tindakan aparat dinilai mencederai amanat konstitusi UU 1945 dan bertentangan dengan UU No.2/2002 tentang Kepolisian yang menyatakan: fungsi kepolisian adalah memeliha keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayom, dan pelayanan masyarakat.

Tindakan represif seperti penembakan gas air mata dari jarak dekat yakni sekitar 4-5 meter dari massa aksi, jelas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 40 Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Pasal tersebut tercatat menyatakan bahwa anggota Polri dilarang bersikap arogan, bertindak diskriminatif, melindungi pelanggar hukum, menutup-nutupi pelanggaran, dan melakukan tindakan berlebihan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

“Karena itu, yang semestinya diperiksa adalah aparat kepolisian di lapangan yang telah bertindak sewenang-wenang, menyebarkan narasi menyesatkan, dan merugikan masyarakat secara nyata. Intimidasi dan kekerasan hukum terhadap massa aksi melalui surat panggilan polisi juga harus segera dihentikan,” jelas Edy dari keterangan pers.

Sementara, Said Marsaoly, salah satu perwakilan warga, mempertanyakan terkait legalitas operasi PT STS. Ia menegaskan, perusahaan tersebut belum mendapatkan persetujuan sah dari masyarakat adat berdasarkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).

“Apakah masyarakat diberi informasi yang utuh, kesempatan untuk memahami risiko, serta ruang bebas untuk menerima atau menolak proyek sejak awal? Jika tidak, maka operasi perusahaan di wilayah adat merupakan bentuk pelanggaran hak kolektif masyarakat adat dan bentuk nyata penindasan struktural,” kata Said.

Selain mendesak aktivitas PT STS, koalisi masyarakat sipil juga menuntut hentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga, dan segera tarik semua aparat kepolisian dari lokasi tambang. Koalisi juga mendesak Kadiv Propam Polri untuk memeriksa personel kepolisian yang terlibat.

Mereka juga mendorong Komnas HAM dan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan untuk mengeluarkan surat perlindungan terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Hal ini merupakan mandat konstitusi dan amanat hukum, sebab, para pejuang lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata atas perjuangan tersebut.”

Koalisi juga menuntut pihak kepolisian, serta pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ESDM Republik Indonesia untuk segera melakukan audit dan investigasi atas kelengkapan izin operasi PT STS, serta dampak pencemaran, kerusakan, dan konflik sosial yang ditimbulkannya.

“Wujudkan pengakuan penuh atas wilayah adat tanpa syarat administratif yang memberatkan rakyat,” jelas koalisi.

Rabul Sawal
Editor
Redaksi
Reporter