Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian terhadap warga Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara, yang menolak aktivitas tambang nikel PT Position.

Ia menyebut penangkapan paksa, intimidasi, kekerasan, hingga pelabelan “premanisme” terhadap warga yang mempertahankan tanah dan hutan leluhur mereka sebagai bentuk brutalitas negara yang melanggar hak asasi manusia dan menghina martabat adat.

“Pelabelan “premanisme” terhadap warga yang mempertahankan tanah, hutan, dan identitas wilayah leluhur mereka adalah bentuk nyata brutalitas negara yang melanggar hak asasi manusia dan menghina martabata masyarakat adat Maba Sangaji,” kata Melky dikutip dari pernyataan sikap terbuka Jatam, pada 22 Mei 2025.

Melky menegaskan bahwa sebelas warga warga yang ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka tersebut dengan pasal karet. Bahkan, tiga di antaranya secara sepihak dinyatakan positif narkoba tanpa prosedur yang transparan dan akuntabel.

“Kami secara serius menilai tuduhan tersebut sebagai upaya pengalihan isu untuk membenarkan tindakan represif aparat penegak hukum terhadap warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya,” jelas Melky.

Sejak awal PT Position mulai beroperasi, tambah Melky, masyarakat adat Maba Sangaji secara tegas menolak kehadiran perusahaan.

“Perusahaan ini masuk dan beroperasi tanpa persetujuan warga, mencaplok hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan menyebabkan kerusakan ekologis yang tak dapat dipulihkan, serta berdampak langsung pada sumber-sumber mata pencaharian masyarakat,” tutur Melky.

Menurut Melky, hak masyarakat adat untuk menyampaikan pendapat, termasuk menyatakan tidak setuju atas kegiatan pertambangan pada wilayah atau ruang hidup tradisionalnya, dijamin secara eksplisit dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.

Mengkriminalisasi masyarakat adat yang menolak tambang sama dengan melanggar konstitusi itu sendiri. Negara melalui institusi Polri, kata Melky, tidak hanya gagal memenuhi kewajiban, tetapi secara aktif menjadi pelaku pelanggaran hak.

“Sangat sulit disangkal bahwa kriminalisasi masyarakat adat Maba Sangaji ini adalah bagian dari intimidasi sistematis oleh negara melalui kepolisian–bukan untuk menjaga ketertiban, melainkan untuk membungkam perlawanan atas perampasan ruang hidup,” terang Melky.

Kepolisian, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, kata Melky, justru menjelma menjadi alat kekerasan korporasi. Bukannya melindungi warga, aparat justru mengamankan kepentingan tambang PT Position.

Dalam Undang-Undang No.2/2002 tentang Kepolisian secara jelas menegaskan bahwa tugas utama kepolisian adalah melindungi jiwa, raga, dan harga benda masyarakat, serta menjaga lingkungan hidup. Pasal 14 undang-undang ini juga menegaskan pentingnya menghormati hak asasi manusia dalam setiap tindakan kepolisian.

Namun, yang terjadi di Halmahera Timur menunjukan sebaliknya. Polda Maluku Urara disebut telah menyalahgunakan kewenangan, menjadi centeng korporasi, dan meninggalkan amanat konsitutsionalnya. Tindakan ini, katanya, tidak hanya bentuk pelanggaran hukum, tapi juga penghianatan terhadap kepercayaan publik.

Jatam mencatat, PT Position telah menyebabkan deforestasi seluas 38 hektare atau setara dengan 54 kali luas lapangan Monas di Jakarta. Angka ini merujuk pada analisis citra satelit sepanjang 2017-2023.

“Ini bukan sekadar angka, tapi gambaran nyata hilangnya sumber kehidupan, pelindung alam, dan warisan leluhur masyarakat adat Maba Sangaji,” tambah Melky.

Jatam juga mencatat bahwa operasi tambang PT Position telah merusak sungai-sungai penting seperti Sungai Sangaji, Kaplo, Tutungan, Semlowos, Sabaino, dan Miyen. Sungai-sungai yang dulunya menghidupi warga dan menjadi sumber ikan, udang, dan protein lainnya, kini menjadi jalur racun dan limbah tambang.

Melky berkata, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji adalah bentuk upaya sistematis untuk merampas ruang hidup mereka dan membungkam perjuangan melalui stigma hukum. Upaya mengubah narasi perlawanan menjadi tuduhan kriminal adalah cara licik untuk menghapus legitimasi perjuangan masyarakat adat.

Sehingga menyebut warga sebagai “preman”, tambah Melky, bukan hanya penghinaan terhadap identitas kolektif mereka, tetapi juga untuk menutupi kenyataan bahwa mereka lah pemilik sah atas tanah dan hutan yang kini dijarah oleh perusahaan tambang.

“Masyarakat adat bukan pelaku kriminal, melainkan pelindung lingkungan dan warisan leluhur yang telah menjaga keseimbangan ekologi jauh sebelum negara dan industri hadir. Melabeli mereka sebagai preman adalah bagian dari strategi negara dan korporasi untuk mendelegitimasi perlawanan yang sah, yang justru berakar kuat pada hak-hak konstitusional dan moral,” tegas Melky.

Melky menegaskan bahwa, kriminalisasi ini adalah pengalihan isu, mengaburkan kenyataan bahwa masyarakat adat bukanlah pelaku kejahatan, tetapi korban dari agenda ekstraktivisme yang didukung oleh negara.

“Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan menjadi alat bagi korporasi yang merampas tanah dan sumber daya alam. Kami menyerukan solidaritas luas untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Maba Sangaji dan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan haknya,” terangnya.

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter