πΌπ‘›π‘–π‘™π‘Žβ„Ž π‘€π‘Žπ‘—π‘Žβ„Ž π‘˜π‘œπ‘™π‘œπ‘›π‘–π‘Žπ‘™π‘–π‘ π‘šπ‘’ π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘’. πΌπ‘Ž π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘–π‘Žπ‘š, π‘‘π‘Žπ‘π‘– π‘‘π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘π‘’π‘‘π‘Ž. π·π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘π‘Ÿπ‘œπ‘π‘œπ‘ π‘Žπ‘™β€”β„Žπ‘Žπ‘™π‘’π‘ , π‘‘π‘Žπ‘›π‘π‘Ž π‘™π‘’π‘‘π‘Žπ‘˜π‘Žπ‘›, π‘‘π‘Žπ‘π‘– π‘šπ‘’π‘šπ‘Žπ‘‘π‘–π‘˜π‘Žπ‘› π‘‘π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘Ž π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘™π‘’π‘π‘–β„Ž π‘ π‘’π‘›π‘¦π‘Žπ‘.

Di Maba Sangaji Kota Maba, Halmahera Timur tanah telah diukur. Ditarik garisnya. Dihitung panjangnya. Ditegaskan koordinatnya. Lalu diubah menjadi angka: dua ribu lima ratus rupiah per meter.

Tapi apakah tanah memang hanya sejauh itu nilainya?

Baca Juga:Sang Nabi

Lagi-lagi saya pungut Henri Lefebvre, filsuf asal Prancis, menulis bahwa ruang bukanlah sesuatu yang netral. Ia bukan latar kosong yang bisa kita isi sesuka hati. β€œRuang”, begitu katanya, adalah hasil dari relasi kuasa.

Ketika ruang hidupβ€”hutan, sungai, dan tanah adatβ€”diubah menjadi peta dan angka, maka yang terjadi tak hanya transformasi administratif. Tapi sesungguhnya penaklukan.

Dan itulah yang tengah berlangsung di berbagai tempat di sekujur tubuh Halmahera: ruang rakyat sedang direbut oleh kuasa ekonomi. Bukan dengan perang, tapi dengan istilah lunak: β€œtali asih.”

Tali asih seolah memberi makna: perusahaan baik hati, rakyat diberi ganti. Tapi di balik itu, ruang yang tadinya punya maknaβ€”tempat berburu rusa, berkebun, merawat pohon, dan napak tilasβ€”telah disederhanakan menjadi nilai tukar. Bukan nilai hidup. Tanah tidak lagi dihormati, ia dibeli. Sungai tidak lagi dilindungi, ia dibiarkan keruh.

Baca Juga:Gas Air Mata

Dan petani Sangaji yang dulunya hidup dalam ritme sehari-hariβ€”menjaga ladang, menengok sungai, menangkap udang, mengambil Gaharu dan pala secukupnyaβ€”dipaksa hidup dalam ritme baru: ritme alat berat, ritme deadline produksi, ritme pasar global.

Inilah yang disebut Lefebvre sebagai kekerasan ritme kapitalisme terhadap kehidupan sehari-hari.

Ironi muncul ketika yang disebut β€œtali asih” justru merusak simpul-simpul sosial. Keluarga terbelah. Kampung menjadi dua suara. Pemerintah desa berdiri di antara uang dan warga. Satu penandatanganan, cukup untuk mengubah tanah yang diwariskan puluhan tahun menjadi lahan konsesi.

Dan sungai? Ia tak pernah berhenti mengalir. Tapi dasarnya kini lumpur. Keruh. Seperti kabut di kepala kita saat harus menjawab: apakah tanah ini milik bersama, atau milik siapa saja yang bisa membeli?

Barangkali inilah wajah kolonialisme baru. Ia tak datang dengan meriam, tapi dengan proposalβ€”halus, tanpa ledakan, tapi mematikan dengan cara yang lebih senyap.

Baca Juga:Affan

Ia tak membakar rumah, tapi menawarkannya kembali dengan harga murah, seolah-olah kenangan, tanah, dan sejarah bisa dibungkus seperti barang diskon.

Ironi terbesar muncul ketika “tali asih” disodorkan seperti sedekah di tengah reruntuhan: selembar uang untuk sungai yang mati, untuk pohon yang hilang, untuk tanah yang tak bisa lagi diwariskan.

Dan dalam kebisingan yang disulap menjadi keramahtamahan itu, suara warga yang menolak malah ditangkapβ€”disebut pengganggu, preman, lalu dikurung dalam terali, seakan keberanian untuk berkata tidak adalah ancaman paling berbahaya hari ini.

Maka kita bertanya: Jika tanah bisa dihitung, dan sungai bisa ditukar, apakah masih ada ruang yang tak bisa dibeli? Atau justru, yang tak bisa dibeli itulah yang sengaja ingin dihilangkan?