Rencana pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik di Halmahera Timur, Maluku Utara, dinilai sebagai bencana ekologis dan kemanusiaan bagi masyarakat adat O’Hongana Manyawa. Proyek senilai US$6-7 miliar itu disebut-sebut akan menjadi ekosistem baterai kendaraan pertama di dunia “dari hulu ke hilir”, melibatkan proses mulai dari pertambangan dan pemurnian nikel hingga produksi baterai.

Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan mengunjungi Halmahera pekan ini, akhir Juni 2025, untuk meresmikan proyek tersebut. Namun, menurut lembaga pembela hak masyarakat adat, Survival International, perluasan tambang nikel dan pembangunan industri pendukungnya akan berdampak fatal bagi sekitar 500 anggota komunitas O’Hongana Manyawa yang hidup secara terasing di pedalaman hutan Halmahera.

“Pengumuman ini merupakan hukuman mati bagi O’Hongana Manyawa yang terisolasi,” kata Caroline Pearce, Direktur Survival Internasional, dalam siaran pers, Selasa, 24 Juni 2025. “Konsesi pertambangan nikel telah mencakup 40 persen wilayah mereka.”

Lokasi pabrik baterai yang baru kabarnya hanya berjarak kurang dari 20 kilometer dari tempat dua warga O’Hongana Manyawa terpantau memanah alat berat pada 2023.

Hutan leluhur mereka telah dihancurkan oleh pertambangan nikel. Perluasan yang direncanakan hampir pasti akan menyebabkan kehancuran penuh hutan hujan mereka — dan mereka sendiri,” ujar Pearce.

Proyek ini akan digarap bersama CATL, perusahaan asal China yang merupakan produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia, akan menjadi mitra usaha patungan di pabrik baterai baru tersebut. Perusahaan ini memasok Volkswagen, Tesla, Ford, Stellantis, BMW, dan Mercedes-Benz, antara lain.

Pemerintah menyebut proyek ini sebagai langkah strategis menuju transisi energi bersih. Namun, Pearce menilai narasi keberlanjutan yang diklaim pemerintah dan perusahaan hanya menutupi pelanggaran hak masyarakat adat.

“Rencana ini mempercepat penghancuran hutan hujan yang menjadi rumah mereka,” tambah Pearce. “Jika rencana ini terus berlanjut, berarti rumah, penghidupan, makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan identitas masyarakat O’Hongana Manyawa akan hancur – dan ini akan membunuh keluarga-keluarga O’Hongana Manyawa.”

“Mereka telah tinggal dan merawat pulau ini beserta hutannya sejak jaman dahulu – dan sekarang mereka dihancurkan atas nama cara yang seharusnya berkelanjutan untuk memerangi perubahan iklim.”

Dokumen internal Weda Bay Nickel–operator tambang nikel terbesar di Halmahera yang bermitra dengan Eramet asal Prancis–menyebut bahwa aktivitas pertambangan bisa “memberikan dampak terhadap eksistensi” O’Hongana Manyawa. Namun, dampak itu justru dikategorikan sebagai “hipotetik” dan “tidak signifikan”.

Survival International mendesak pemerintah Indonesia menetapkan zona bebas tambang di wilayah adat O’Hongana Manyawa untuk mencegah kehancuran lebih lanjut.

“Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kesiapannya untuk membatalkan pertambangan nikel demi menyelamatkan pariwisata; kini pemerintah juga harus melakukannya untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan,” kata Pearce.

“Dengan bertindak sekarang dan menetapkan zona bebas tambang di wilayah masyarakat O’Hongana Manyawa terisolasi, pemerintah dapat mencegah pemusnahan mereka.”

Rabul Sawal
Editor
Redaksi
Reporter