DI suatu negeri gonjang-ganjing, terciptalah dan beredarlah lelah yang menjemukan. Bahasa tidak lagi mencukupi untuk saling memberi pemahaman. Maka, lelah berbahasa merebak, yang mengakibatkan “kegagalan” membuka kamus-kamus. Negeri itu sepertinya sudah tidak membutuhkan kamus. Yang terjadi adalah kata-kata yang dihambur-hamburkan setiap menit, yang merusak selera makan dan menyulitkan tidur nyenyak.
Yang agak menyelamatkan adalah membaca novel. Pilihannya adalah novel berjudul Reuni gubahan Alan Lightman (2016). Pembaca di Indonesia mulai mengenalnya melalui novel yang berjudul Mimpi-Mimpi Einstein. Novelnya ini laris di Indonesia. Buktinya beberapa kali cetak ulang oleh KPG. Namun, novel yang Reuni tampak kurang mendapat perhatian dan pembahasan, sejak beredarnya edisi terjemahan bahasa Indonesia disodorkan kepada publik.
Sekarang, kita membacanya bukan gara-gara di negeri terbiasa gonjang-ganjing sedang ribut masalah reuni. Charles, tokoh yang berusia 50-an tahun, mengalami kejadian-kejadian yang membuat hidupnya samar dan tragis. Ia bekerja sebagai pengajar. Pernikahannya tidak langgeng. Perceraian menyadarkan balas dendam yang absolut dan sempurna dari perempuan yang pernah menjadi istrinya. Hari-harinya justru dikutuk kenangan-kenangan.
Pemicu kenangan yang menyerbu hidupnya adalah reuni. Sheila, perempuan yang tinggal bersamanya setelah perceraian, menanyakan: “Apa kau akan pergi ke reuni kampusmu? Kapan jadinya? Dua minggu lagi, tanggal enam?” Pertanyaan yang memaksa Charles jengkel dan berharap. Ia ingin ikut reuni ditemani Sheila meski mengetahui perempuan itu tidak akan mengabulkannya.
Yang bergolak dalam diri Charles: “Aku sempat pergi ke reuni kedua puluh sendirian setelah perceraianku, dan itu bencana betul. Semua orang berpasangan dengan istri atau pacarnya. Para lelaki dari seluruh negeri yang tidak pernah bertemu selama dua puluh tahun, tidak pernah saling kontak, tidak punya ketertarikan satu sama lain, ditumpuk bersama sepanjang akhir pekan dan berlagak seperti keluarga. Lalu, aku bolos dari yang kedua puluh lima, yang besar, yang semua orang bicara tentang tempat mereka di dunia ini. Sekonyong-konyong, aku putuskan datang ke yang ketiga puluh. Kami semua sudah lima puluhan tahun, membotak, makin rabun, lipatan dagu makin turun, saat kritis dalam hidup, saat kami sudah banyak mencapai apa yang kami inginkan dalam hidup dan baru mulai memandang jurang gelap yang menunggu di ujung lainnya.” Charles hanyalah tokoh dalam novel. Ia jauh berbeda dari tokoh di negeri yang senang gonjang-ganjing. Charles sadar baik dan buruk jika mengikuti reuni.
Reuni di kampus mengembalikan kenangan-kenangan: perempuan, buku, gulat, ganja, puisi, dan lain-lain. Reuni tak sekadar bertemu teman-teman dan melihat kembali kampus yang mengalami banyak perubahan. Charles justru “bertemu kembali” dengan dirinya saat masih muda. Ia yang menghasrati sastra, tubuh, dan menginsafi sains.
Di halaman-halaman novel, kita membaca pula masalah bisnis, politik, astronomi, biologi, seks, dan perkara-perkara akademis. Ada perdebatan sengit antara dosen dan mahasiswa pascasarjana mengenai penulisan artikel. Pemicunya adalah urutan nama. Profesor yang mengajar puisi kaget mengetahui hasil pengetikan artikel. Yang dicantumkan di depan adalah nama mahasiswanya. Ia berada di urutan kedua. Profesor ingin namanya ditulis sebagai penulis yang pertama. Si mahasiswa pascasarjana tidak mau gara-gara ia paling sibuk dan dilelahkan dalam penulisan artikel. Kita membaca debat dalam novel, yang mungkin mirip dengan kasus-kasus di negeri yang belum selesai gonjang-ganjing. Apakah novel itu menyindir atau menyadarkan bagi para pembaca di Indonesia?
Akhirnya, kita harus meninggalkan masalah reuni tapi mengikuti perkara-perkara akademis. Tiba saatnya menutup novel tipis dari Alan Lightman agar yang terkutip tidak lagi bersumber teks fiksi. Yang kita baca adalah artikel Andi Hakim Nasoetian dalam majalah Tempo, 5 April 1986. Judulnya mengagetkan dan menanggapi situasi yang bergolak: “Skripsi Fiksi untuk Gengsi”.
Intelektual kondang itu mula-mula mengisahkan pengalamannya saat menjadi mahasiswa, yang menulis makalah, laporan praktik, dan skripsi. Ia beruntung dalam model pengajaran yang “keras” dan menuntut pemuliaan yang ilmiah. Pengalaman itu digunakan untuk membahas kondisi perkuliahan dan keamburadulan penulisan skripsi.
Yang disampaikan Andi Hakim Nasoetion: “Faktor apa di Indonesia yang dapat menghambat pembuatan skripsi? Pertama, langkanya dosen pembimbing yang tetap giat dalam usaha penelitian, dan karena itu tetap menguasai perkembangan ilmu dalam bidangnya melalui pengkajian kepustakaan mutakhir. Kedua, kurang tersedianya kepustakaan mutakhir dari semua pusat perkembangan bidang ilmu itu. Ketiga, kekurangmampuan mahasiswa menguasai dasar-dasar bidang ilmunya, dan bahasa asing yang menjadi sarana komunikasi dalam bidang ilmunya itu.”
Maka, akibatnya adalah skripsi-skripsi yang mutunya buruk. Parahnya lagi, biasa terjadi kecurangan dalam penulisan skripsi. Ada pula “bisnis” dan kongkalikong dalam lakon akademis. Jadi, ruwet dan apes masalah skripsi sudah terjadi sejak lama, yang membuat kita tidak harus ikut pusing dengan gegeran mengenai skripsi seseorang di universitas yang terkenal di Indonesia.
Padahal gegeran yang berkepanjangan itu ijazah, tidak cuma skripsi. Yang kita bahas bersumber tulisan lama, bukan situasi mutakhir di negeri telanjur gonjang-ganjing. Di majalah Tempo, 19 Agustus 1978, memuat laporan panjang bertema ijazah palsu.
Ingatan yang mungkin mengejutkan pembaca: “Heboh sekitar ijazah palsu belum berhenti. Setelah Departemen Luar Negeri meneliti ijazah karyawannya – 13 di antaranya ternyata berijazah palsu – minggu lalu, Departemen Perdagangan dan Koperasi mulai mengikuti jejak Deparlu. Sampai Senin kemarin, belum ketahuan hasilnya.” Kasus ijazah palsu pun terungkap di beberapa universitas. Akibatnya, Menteri P dan K Daoed Joesoef marah dan menyerukan pentingnya prestasi ketimbang selembar kertas.
Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara AE Manihuruk memberi pelbagai penjelasan agar kasus itu terpahami dan diselesaikan secara bijak. Kita mengutip: “Bagi Manihuruk, pengertian ijazah palsu itu ialah ijazah yang sebenarnya tidak berhak dipakai oleh seseorang. Orang itu mendapatkannya mungkin dengan cara membeli ijazah yang dipalsukan oleh orang lain. Atau memalsu sendiri. Atau membeli ijazah asli. Dalam hal terakhir ini, tentu ada kerjasama dengan fakultas atau perguruan tinggi yang bersangkutan.” Maka, kita diingatkan adanya bisnis ijazah palsu yang menghasilkan untung besar pada masa 1970-an.
Kita sudahi saja membaca novel dan majalah. Tutup saja novel dan majalah, berganti menonton film berjudul Sore, yang membuat kita masuk dalam pengajaran asmara, keluarga, pekerjaan, raga, dan kota. Kita menikmati fiksi tapi ada yang menyentuh dan mengajak kita merenung tanpa harus gegeram atau gonjang-ganjing. Kita yang menonton berhak menangis atau menundukkan kepala untuk sampai pengertian-pengertian.
*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.