Saya membayangkan satu per satu wajah orang-orang Maba Sangaji di dalam rutan ketika membaca berita “abolisi” dan “amnesti” untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Mereka, tentu saja, belum mendengarkan kabar ini: terpidana macam Hasto diampuni kesalahannya dan Lembong dianggap tidak bersalah.

Saya teringat wajah keriput Salasa Muhammad yang berusia 80-an yang punya sebuah mimpi sederhana: memberikan cincin dan gelang kepada Siti istrinya di kampung. Wajah Umar Manado yang berseri-seri ketika menyebutkan nama istrinya, Hawa. Wajah Nahrawi yang berbinar-binar dua hari terakhir karena istrinya, Kamaria, rutin datang pekan ini ke rutan. 

Tapi dua hari yang lalu, hati saya ikut terluka melihat Umar menjatuhkan air mata dan menahan amarah setelah membaca surat dakwaan dari Kejaksaan Negeri Halmahera Timur. Seorang kapita, dihormati dan disegani di kampung, harus dikibuli oleh hukum. Keterangan dalam surat itu tak pernah ia berikan. “Dia pe isi bafoya samua,” kata Umar. 

Dalam surat dakwaan, Umar dan sebelas warga Maba Sangaji dituduh “membawa senjata tajam dan mengusir karyawan yang sementara melakukan aktivitas pekerjaan sambil marah-marah dan memukul dinding kantor sehingga karyawan ketakutan”. Ritual adat dan penancapan bendera kabasarang, oleh jaksa dianggap “tidak mewakili aspirasi masyarakat secara umum”.

Hutan adat yang ratusan tahun menjadi tumpuan hidup dan harapan, yang telah dirusak oleh pertambangan nikel PT Position, dianggap bukan wilayah hutan adat Maba Sangaji.

Rasa-rasanya, Kapita Umar, ditampar oleh hukum yang dahulu pernah ia percaya lewat setiap upacara sekolah. Umar tidak tahu lagi bagaimana mendefinisikan arti keadilan. Lelaki berambut uban itu bingung, mengapa para jaksa ini mengarang isi lembaran dakwaan,  seolah-olah yang ia mantrakan [bobeto] dalam ritual penancapan bendera adat adalah sebuah kejahatan. Seolah-olah menolak hutan, tanah, air, dan kehidupan dirusak tambang adalah tindakan kriminal.

Wilayah hutan telah lama memberi kehidupan bagi jutaan generasi orang Maba Sangaji. Orang-orang tua dahulu selalu mengajarkan anak-anak di wilayah ini untuk menjaga hutan, tanah, dan air. Seperti yang Umar tanamkan sampai saat ini: “Saya pe darah daging ini so menyatu deng tanah, deng hutan. Kalu ada yang kase rusak saya marah, saya lawan,” kata Umar. 

Umar mestinya menua di kebun, bukan di dalam tahanan. Begitu pula dengan warga yang lain. Begitu pula dengan beberapa orang muda yang ikut ditangkap. Mereka mestinya menua dengan keluarga dan bahagia di rumah, bukan menghitung hari dalam kurungan, yang belum pasti kapan berakhir.

Sayangnya, di mata hukum, kehidupan warga yang bahagia, terbebas dari bayang-bayang daya rusak tambang, tidak dibenarkan oleh negara. Yang mereka perjuangkan hutan, tanah, dan masa depan, yang datang justru ketidakadilan dan penjara.

Yang tidak masuk akal juga adalah ketika polisi ketakutan melihat seorang Umar dengan peci putih, dan warga lainnya, membawa parang di hutan. Sementara, mereka petantang-petenteng dengan senjata laras panjang dan berseragam lengkap keliaran di hutan. Hutan bukan kantor atau barak polisi dan tentara.

Perlu dicatat: senjata yang ada peluru sama sekali tidak berguna membangun tenda, memasak, mengambil kayu bakar, dan bertahan hidup di hutan. Senapan mungkin bisa melumpuhkan kaki rusa atau babi hutan. Tapi bagaimana mungkin bisa memasak hewan buruan itu. Apa dengan menembak berkali-kali si rusa sampai matang? 

Hukum harus melihat bahwa polisi yang membawa senjata itulah yang kriminal, bikin warga ketakutan, bukan sebaliknya. Dalam banyak kasus konflik di seluruh dunia, senjata laras panjang-lah yang banyak memakan korban. 

Baca Juga:Sang Nabi

Saya sekali lagi tidak terlalu paham tentang hukum dan proses peradilan, pemahaman saya sangat terbatas. Tapi saya mengerti apa yang dialami dan dihadapi warga Maba Sangaji adalah ketidakadilan. Hukum benar-benar dirusak, dikebiri, tidak punya marwah di hadapan korporasi. Hukum benar-benar menjadi ruang aman untuk si perusak hutan, bukan pembela kehidupan. 

Adagium “tumpul ke bawah tajam ke atas” benar-benar telah mengakar dalam sistem peradilan negara ini. Pengurus-pengurus negara ini makin terbiasa jadi kacung, mengkriminalkan warganya yang menjaga kehidupan, dan berlaku sebaliknya pada korporasi yang merusak masa depan.

Saya, sedikitnya, mengerti apa yang diperjuangkan sejak awal dan dikhawatirkan dalam kasus Tom Lembong. Ia sekarang diberi abolisi. Tapi, seperti yang dikatakan Farid Gaban, dalam sistem peradilan yang normal, Tom bisa bebas bahkan tanpa abolisi. Dalam kasus sebelas pejuang lingkungan Maba Sangaji, juga punya hak yang sama, tapi juga kalau sistem peradilan yang normal, warga tidak perlu abolisi untuk bebas.

Saya tidak meminta sebelas warga Maba Sangaji diberi abolisi, diampuni atas kasusnya, tapi diakui bahwa mereka memang tidak bersalah sama sekali sejak awal. Mereka mesti dilihat sebagai pejuang lingkungan, menyelamatkan hutan dan kehidupan generasi, juga menyelamatkan muka pengurus negara ini yang telah lama menjadi centeng, dan rakus atas sumber daya alam.

Kamaria sudah lelah menyembunyikan air mata, setiap kali harus berbohong kepada anak-anaknya yang masih kecil bahwa ayah mereka sedang bekerja. Pada Rabu sore pekan ini, Perempuan ceria itu sampai sesenggukan tak bisa menahan tangis ketika kakinya telah berada pintu keluar Rutan Kelas IIB Soasio.

Tapi, Kamaria, dan warga korban tambang Maba Sangaji telah menanamkan petua kepada anak-anak mereka: orang kecil macam kita jangan percaya pada hukum, jangan percaya pada negara. Institusi ini telah memenjarakan satu-satunya kebahagiaan anak-anak yang harus bermain dengan bapaknya di rumah.[]