INDONESIA belum selesai dengan sejarahnya. Tunggulah pengumuman bahwa buku beberapa jilid mengenai sejarah Indonesia diresmikan oleh penguasa di peringatan hari bersejarah! Buku yang dianggap sebagai hadiah agar Indonesia tetap berharap mulia. Di halaman-halaman yang dianggap sejarah “resmi”, apakah kita akan bertemu puisi? Apa artinya puisi dalam sejarah Indonesia? Yang paling terkenang tetap teks proklamasi.
Namun, ada yang ikut mengingat puisi. Pastilah yang mendapat kehormatan adalah puisi-puisi gubahan Chairil Anwar. Sosok yang tidak berdiri di serambi rumah untuk membacakan proklamasi, 17 Agustus 1945. Ia memiliki tempat-tempat yang berbeda untuk membacakan puisi. Yang dibaca adalah teks puisi, bukan teks yang menentukan kemerdekaan atau kedaulatan yang membarakan revolusi belum selesai. Yang ditulis Chairil Anwar adalah puisi, jenis tulisan yang tidak dianggap asing oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar atau masuk dalam arus keaksaraan.
Kita jangan membayangkan pembaca teks proklamasi adalah Chairil Anwar. Jika itu terjadi maka sejarah Indonesia bakal “menerjang” dan “jalang”. Di foto lama, yang terlihat adalah sosok Soekarno, yang membaca tampak tenang dan berwibawa. Untungnya ia tidak bergaya deklamasi. Namun, saat kita melihat Soekarno, ada bayangan Chairil Anwar yang muncul meski samar dan terlambat. Chairil Anwar dalam kancah perang dan mengerti arus revolusi.
Di majalah Tempo, 25 Mei 2008, Arif Bagus P menyatakan: “Chairil Anwar lebih banyak berpuisi tentang problem eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang individu sejati. Sang aku dengan perih-megap-meriang banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan pergolakan batin lainnya yang bersifat personal.” Percayalah yang diungkapkan kritikus sastra tinggal di Bali itu mengandung kebenaran!
Chairil Anwar maunya menulis puisi. Ia jauh dari pembayangan bila menulis teks proklamasi atau ikut urun kata-kata untuk penyusunan UUD 1945. Kata-kata yang dicantumkannya dipastikan menimbulkan badai dan amuk bagi yang mengimpikan Indonesia merdeka atau mulia. Bersyukurlah ia bukan penulis teks proklamasi tapi puisi-puisi, yang terbit menjadi buku berjudul Deru Campur Debu. Buku yang diakui berpengaruh dalam perkembangan sastra di Indonesia.
Kita tidak menggunakan buku itu saat menanggapi keseriusan pemerintah dalam memuliakan puisi. Buktinya, menteri yang pintar omong itu memberi ketetapan tentang Hari Puisi Indonesia, yang patut diperingati di Indonesia. Penentuan tanggal peringatan berdasarkan Chairil Anwar: 26 Juli 1922. Mengapa setiap membahas puisi ujung-ujungnya nama yang keseringan muncul adalah Chairil Anwar?
Kita selingi membaca dulu puisi gubahan Rendra agar kita tidak selalu terjerat Chairil Anwar. Rendra menulis puisi berjudul “Di Meja Makan” yang masuk dalam buku Balada Orang-Orang Tercinta (1957). Yang ditulisnya mengharukan: Ia makan nasi dan isi hati/ pada mulut terkunyah duka/ tatapan matanya pada lain sisi meja/ lelaki muda yang dirasa/ tidak lagi miliknya// Ruang diributi jerit dada/ Sambal tomat pada mata/ meleleh air racun dosa//Dipeluknya duka erat-erat/ dikurung pada bisu mulut/ dan mata pijar warna kesumba. Kita tidak lagi harus membayangkan puisi di sekitar proklamasi. Pada masa 1950-an, Rendra mengerti dampak revolusi dan puisi-puisi bersemi di Indonesia. Chairil Anwar masih “berkuasa” tapi Rendra telah berani menentukan jalan yang berbeda.
Pada akhirnya, ia pun besar dalam sastra. Yang ditulis dan diwariskannya belum bisa digunakan dalam penentuan hari-hari peringatan yang diselenggarakan umat sastra atau pemerintah. Rendra tetap terakui membesarkan puisi di Indonesia, yang terwujud dalam pengajaran sastra di sekolah atau universitas yang sering menampilkan puisi-puisi Rendra, selain warisan dari Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Hari Puisi Indonesia yang telanjur ditetapkan pemerintah citarasanya Chairil Anwar. Kita memiliki deretan nama tapi dianggap belum atau tidak melampaui “kemahakuasaan” Chairil Anawar. Maka, nama itu selamanya yang meyakinkan bahwa puisi penting dalam arus sejarah Indonesia. Puisi-puisi Chairil Anwar berbeda dari teks bersejarah (1928 dan 1945). Yang membanggakan adalah kutipan-kutipan dari sekian puisi Chairil Anwar masih langgeng tanpa harus disampaikan dalam upacara atau pidato para pejabat.
Mustahil melupakan Chairil Anwar! Kita cuma ingin ada kenikmatan menyantap puisi pada masa setelahnya atau mengganggu “pemujaan” yang terlalu lama. Puisi tidak selamanya melulu Chairil Anwar. Kita mampir ke puisi berjudul “Tak Ada Lagi yang Mengurus Puisi Sekarang” yang ditulis Darmanto Jatman (1966). Sosok yang meragukan jika dicap peniru atau pengikut Chairil Anwar. Yang ditulisnya: Tak ada lagi yang mengurus puisi sekarang/ segala perjuangan ditujukan untuk politik/ di mana katanya kekuasaan adalah rahmat. Bait yang jelek dan membosankan tapi itu nyata ada dalam puisi yang berlatar gegeran 1960-an. Pada bait yang menghindari basi: Tak ada lagi yang mengurusi puisi sekarang/ malam demi malam pun lewat/ dan pengantin-pengantin yang dikawinkan/ hanya bisa mengerutkan dahi/ dan menatap ke tanah saja. Puisi di sisa-sisa revolusi.
Namun, tetap saja puisi (Indonesia) itu Chairil Anwar. Di buku tipis terbit 1972, Goenawan Mohamad menulis tentang sosok yang terduga dirinya: “Demikianlah kesusastraan bagi dia sejak umur sebelas tahun itu hanyalah kesusastraan Indonesia, yang dibacanya dari buku dan majalah dan didengarnya dari radio. Dia bertolak dari sana. Oleh sebab itulah kini ia sering merasa bahwa ia telah menjadi penyair tanpa suatu tradisi. Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya. Jikapun kesusastraan Chairil Anwar bisa dianggap sebagai perbendaharaan semacam itu, maka mungkin hanya itu tradisinya, meskipun jarak antara dirinya dan penyair tahun 40-an itu tidak sampai separuh abad.”
Chairil Anwar yang tegak dan “mustahil” tergantikan. Namun, peringatan yang merujuk dirinya mestikah membutuhkan pengesahan pemerintah, yang rupa dan polahnya tak puitis?
*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.