Di sebuah ruangan yang sejuk, empat orang berdiri.
Tangan menempel di dada semacam tanda, ingin disebut komitmen.
Di belakang mereka, ada peta Pulau Halmahera, Maluku Utara tergantung kaku, warna hijau menandai daratan, biru pucat membingkai laut. Di tengah, lambang Polda seperti segel resmi yang memberi kata akhir: kami berkuasa, kami menjaga.
Tapi ini masih bahasa denotasi, bahasa apa adanya, seperti dilihat mata kita.
Namun, bukankah semiotika mengajarkan satu hal: tanda-tanda ini punya lapis makna.
Gestur tangan di dada itu, tak hanya tubuh yang berpose. Itu adalah konotasi atau pesan tersirat. Ini sepertinya bukan pertemuan biasa. Ini upacara kecil untuk sebuah pernyataan: polisi dan LSM telah menyatu demi lingkungan.
Nah, dan di sini-lah mitos itu bekerja: mitos tentang negara dan masyarakat sipil yang bergandengan, melindungi bumi dari perusak.
Tapi mitos, lagi-lagi saya ingat kata Barthes, adalah cerita yang menghapus sejarahnya sendiri.
Foto ini seperti ini ingin menghapus sebuah kenyataan: di hari yang sama, di ruang yang lain, sebelas orang adat Maba Sangaji duduk di bangku terdakwa. Mereka yang menjaga Kali Sangaji, sungai yang mengalir di tanah mereka sendiri. Kini disebut pelanggar hukum. Mereka ditangkap oleh lembaga yang di foto ini mengaku “penyelamat lingkungan”.
Lalu, ironi bekerja seperti bayang-bayang: tak tampak di dalam bingkai, tapi selalu ikut kemana cahaya diarahkan. “Tambang emas ilegal,” kata yang mudah dibidik. Sebab pelakunya rakyat kecil.
Yang jarang masuk headline: perusahaan besar, bahkan BUMN, mengeruk tanah, mengaburkan sungai, bikin rusak pesisir juga meninggalkan sedimen lumpur yang tak lagi punya nama.
Di sana, jarang ada foto tangan di dada.
Dan WALHI—LSM yang dibayangkan sebagai suara lantang dari pinggir hutan, ini kali berdiri dalam bingkai yang rapi, berdampingan dengan aparat yang menangkap para pembela lingkungan.
Apakah ini sinergi? Atau kompromi?
Gambar ini ingin kita percaya pada harmoni.
Tapi sejarah, seperti sungai, tak pernah sepenuhnya bisa dibendung oleh satu bingkai.
Sebab di luar foto, selalu ada suara lain, Foto itu menghapus jejak konflik, menutup suara air Kali Sangaji yang kini keruh. Dalam bingkai, semuanya tampak selaras. Di luar bingkai, sejarah berjalan sendiri dan selalu mengingat siapa yang benar-benar menjaga bumi ini.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.