TUJUH belas Agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita adalah petikan kalimat pembuka lagu “Hari Merdeka” ciptaan Husein Mutahar yang paling sering kita dengar dan hafal sejak masih duduk di sekolah dasar. Husein adalah seorang komponis musik Indonesia yang dikenal menciptakan lagu-lagu perjuangan dan nasionalisme.
Tujuh belas Agustus tahun empat lima, tepat hari ini, delapan puluh tahun lalu juga, republik bernama Indonesia ini berdiri: dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Jalannya memang tidak mudah, mesti dijajah dulu, baru merdeka kemudian.
Tan Malaka, tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia merumuskan republik ini dalam sebuah brosur paling fenomenal Naar de ‘Republiek Indonesia’–Menuju Republik Indonesia pada 1925 sebelum kata “Indonesia” dikenal luas zaman pergerakan. Tan Malaka dikenal sebagai “bapak republik” karena merancang Indonesia sebelum negara ini merdeka, tetapi kemudian jadi “buronan abadi”, lalu dieksekusi mati, dan dilupakan oleh sejarah republik sendiri.
Sebelas warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, memang bukan “bapak republik” macam Tan Malaka yang menolak politik diplomasi. Mereka hanyalah warga biasa yang tinggal di kampung, sehari-hari hidup di kebun, membersihkan ilalang yang merayap di pohon pala, membuat tangga pohon kelapa, memetik kakao dan cengkeh, dan memanen umbi-umbian untuk makan sehari-hari. Mereka juga menghafal betul lagu “hari merdeka” karangan Husein itu.
Sebelas warga Maba Sangaji ini, sekali lagi, tidak mengenal sosok Tan Malaka yang keras menolak berunding dengan kolonial, tetapi mereka tahu siapa Sukarno dan Hatta, karena dua proklamator itu yang membacakan teks proklamasi pada hari Jumat pagi delapan puluh tahun silam dan ada dalam teks sejarah mata pelajaran sekolah.
Tetapi nasib mereka hampir persis dengan Tan Malaka: tidak mau berunding dengan oligarki tambang. Mereka berjuang mempertahankan hak dan martabat di atas tanah dan hutan untuk masa depan generasi dan anak-cucu, lalu dituduh ‘preman’, ditangkap, dan dipenjarakan oleh aparat republik ini.
Sebelas warga Maba Sangaji ini hanya berjuang melawan tambang nikel yang merusak hutan adat, mencemari sungai, menggusur kebun pala, dan melenyapkan ruang hidup. Mereka berjuang agar ruang penghidupan mereka terbebas sepenuhnya dari bayang-bayang kerusakan, sampai “kemerdekaan tercapai 100%” dan musuh oligarki tambang meninggalkan tanah Halmahera.
Di tengah perayaan kemerdekaan ke delapan puluh, saat ada seorang pejabat yang senang menyelam dan hormat bendera di dasar laut, sebelas warga Maba Sangaji dipaksa mendefinisikan kata “merdeka” sambil menjalani sidang dan menghitung hari demi hari di balik rumah tahanan.
Jangan-jangan, pada usia delapan puluh tahun republik ini, kita tidak sedang merayakan kemerdekaan republik Indonesia, tetapi sedang merayakan kemerdekaan republik oligarki tambang.
Oligarki tambang yang merusak hutan, mencemari laut dan menghancurkan sumber kehidupan dibiarkan terus menerus menaklukkan alam, mengeruk kekayaan, sementara rakyatnya dikorbankan. Oligarki tambang yang melawan hukum, mencederai harkat dan martabat republik, rakyatnya yang dikriminalisasi dan dipenjarakan.
Oligarki tambang benar-benar kebal hukum, dilindungi aparatus kekerasan dan perangkat hukum republik ini. Izin-izin tambang mereka peroleh dengan mudah, perangkat negara disandera, pejabat korup dibiarkan bebas dan setiap tujuh belas Agustus tampil sebagai pemimpin upacara sambil menyanyikan lagu Indonesia raya.
Ketika alat-alat berat dimobilisasi masuk ke kampung-kampung, membelah dan membongkar kawasan hutan, mengusir masyarakat adat, merusak sumber kehidupan, mencemari sungai, dan melenyapkan infrastruktur kehidupan, pengurus negara yang telah tersandera oligarki selalu bersikap oportunis. Hanya mau “berunding” mencari “jalan tengah”, dan ujung-ujung sudah bisa ditebak: membiarkan warga menderita menghadapi bencana.
Laporan-laporan kerusakan dan bencana di Halmahera—termasuk pulau-pulau kecil yang mengitarinya—banjir bandang terus menerus di Pulau Obi, ikan dan manusia di Teluk Weda diduga terkontaminasi merkuri dan arsenik, dan perairan Teluk Buli dirusak, pulau-pulau lain dieksploitasi mineralnya dengan ugal-ugalan, tak pernah disampaikan dalam “teks proklamasi” yang dibacakan setiap kali upacara kemerdekaan. Yang tercatat dalam “teks proklamasi” republik oligarki ini hanyalah angka nilai ekspor, pertumbuhan ekonomi, nilai devisa, dan terus menggembar-gemborkan jargon hilirisasi dan ide sesat transisi energi.
Kita memang tidak bisa lagi berharap apapun pada pengurus negara-oligarki, tetapi juga tidak bisa hanya tinggal diam. Sebelas warga Maba Sangaji sudah menjadi teladan, bahwa memperjuangkan “kemerdekaan 100%” dan melawan “musuh dalam negeri kita” harganya sangat mahal: jeruji besi. Musuh yang kita lawan bukan lagi dari luar, tetapi “musuh dalam negeri kita” inilah yang jadi biang keroknya.
Sekali lagi, kemerdekaan benar-benar bukan milik rakyat korban tambang, tetapi milik republik oligarki tambang. Jika definisi kemerdekaan dalam bahasa sansekerta maharddhikeka–yang berarti “kaya, sejahtera, kuat”, maka benar, dalam hal ini yang “kaya, sejahtera, kuat” adalah republik oligarki tambang yang sedang merayakan kemerdekaan ke delapan puluh tahun hari ini.[]
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.