INDONESIA merdeka, berusia delapan puluh. Angka bulat. Seperti lingkaran yang tampak utuh, tapi di dalamnya garis-garis itu tampak makin retak. Untuk manusia, delapan puluh usia senja. Tapi sebuah bangsa, ia masih muda. Muda, tapi letih.
Upacara bendera dikibarkan. Lagu dinyanyikan. Liturgi kebangsaan yang sejak kecil kita hafal. Tapi seperti doa yang diulang tanpa rasa, ia pelan-pelan jadi kosong. Nusantara disebut lagi dan lagi. Kata yang dahulu lahir dari pelaut, dari angin laut dan ombak, dari kesadaran bahwa kita semua rapuh dan saling membutuhkan. Dari pulau terbesar sampai pulau terkecil, dari Aceh hingga Papua, semua hidup dalam satu samudera yang sama. Kata itu pernah mengikat cinta, persatuan yang lahir dari empati.
Tapi di usia delapan puluh, kata itu makin diperas. Nusantara jadi brand. Nusantara jadi ibu kota baru, megaproyek yang membanggakan, tapi melupakan pulau-pulau kecil yang dalam teks hukum kita lindungi tapi di lapangan makin tercabik. Lihatlah Mabuli, di Halmahera, Tengoklah, Gei Pakal dan Gebe atau Sangihe di Sulawesi juga Gag di Raja Ampat.
***
Kita tahu, pembangunan selalu butuh ruang. Ketika satu ruang habis, ia mencari ruang lain. Begitulah logika kapitalisme bekerja, berpindah seperti air mencari celah. David Harvey menyebutnya spatial fix—perbaikan yang semu, sebab masalah hanya digeser, bukan diselesaikan. Barangkali kita pun sedang hidup dalam logika itu.
Transisi energi dipuja-puji: nikel, kobalt, baterai. Katanya demi dunia hijau. Tapi kita juga tahu, untuk menghidupkan smelter di Halmahera, dibakar batu bara dari pulau lain. Sulawesi memangsa Kalimantan. Jawa memangsa Halmahera. Papua dipaksa menyerah pada emas yang makin tipis. Pulau-pulau Nusantara kini seperti saling merobek tubuh sendiri.
Hilirisasi, katanya, jalan keluar. Tak lagi ekspor mentah, tapi olahan. Tapi siapa yang benar-benar beroleh nilai? Warga di lingkar tambang kehilangan tanah, yang membela tanah dan air disekap dalam bui. Ikan-ikan menjauh, hutan kehilangan sunyi. Sementara kota-kota jauh di barat negeri bersih dengan mobil listrik.
Nusantara pernah berarti kebersamaan. Kini ia berarti relasi kuasa. Ruang dikeruk, dialihkan, dikorbankan demi ruang lain. Jakarta terendam, maka Kalimantan dibuka. Jawa sesak, Papua ditikam. Semuanya tampak rapi di atas kertas, tapi di bawah, ada wajah-wajah yang kian asing dengan makna merdeka.
Mungkin inilah yang dimaksud liturgi delapan puluh tahun. Kita berdoa, tapi doa itu tak jadi cahaya. Ia menutupi perih dengan selimut merah putih. Kita mengulang: merdeka, adil, makmur. “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”. Namun di sela-selanya, terdengar erangan bumi dan tangis keluarga-keluarga kecil.
Delapan puluh tahun bukan usia untuk berbangga diri. Ini usia untuk bercermin. Apakah kita bangsa yang sanggup menjaga lautnya? Apakah kita bangsa yang mampu merawat tanah dan airnya, tanpa menjualnya ke logika modal global? Atau kita bangsa yang hanya pandai mengulang kata berdaulat, sambil membiarkan ruhnya pudar?
Indonesia berusia delapan puluh. Lingkaran tampak utuh. Tapi garis-garis retak itu nyata. Dan dari celahnya, kita bisa mendengar sesuatu—barangkali doa yang belum selesai, atau sekadar gema kosong yang semakin lirih.[]
Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.