DI bawah langit yang dulu mengabarkan revolusi, para pendiri negeri ini menuliskan arti kemerdekaan dengan tinta darah, peluh, dan pengorbanan. Mereka berarak dari hutan ke kota, dari laut ke gunung, demi mengusir penjajah yang mengangkangi tanah pusaka. Kerajaan-kerajaan dan komunitas adat, dengan segala harkat dan martabatnya, rela meleburkan diri dalam rumah besar bernama republik—sebuah mimpi bersama tentang tanah air yang merdeka dan bersatu.
Namun kini, ketika merah putih berkibar saban tahun di tiang-tiang peringatan, ada luka yang menganga di balik gegap gempita. Sebuah tanya yang lirih namun nyaring menggema di dada mereka yang kehilangan: apa arti merdeka ketika tanah warisan leluhur dirampas dari tangan sendiri?
Ironi zaman ini begitu nyata. Perampasan bukan lagi datang dari londo bersenjata, melainkan dari saudara sebangsa, dari perusahaan-perusahaan tambang yang mengatasnamakan pembangunan. Negara yang dulu digadang sebagai ibu pertiwi, kini kerap hadir sebagai tangan dingin kekuasaan—mengawal penggusuran, membungkam protes, dan menabalkan proyek atas nama kemajuan.
Lihatlah Halmahera—pulau yang tak henti memberi, tapi terus disakiti. Di Maba Sangaji, Halmahera Timur, tanah adat digasak oleh PT Position, dan sebelas warganya malah dijerat hukum. Di Weda Utara, Halmahera Tengah, liang lahat tak lagi tersedia, hingga jenazah pun dimakamkan di pekarangan rumah, seolah kematian pun harus antre dengan ekspansi. Di Sagea, karst Bokimoruru terancam digali, memutus urat nadi air yang menghidupi kampung. Di Obi, Halamahera Selatan, suara-suara yang menolak tambang milik Harita Grup seolah tenggelam di antara dentuman alat berat dan bisikan modal yang menggoda.
Kemerdekaan, mestinya, adalah kebebasan menata hidup di tanah sendiri—bukan sekadar simbol di kalender, bukan pula parade di jalanan. Ia adalah hak untuk menentukan arah hidup, menjaga hutan dan laut agar lestari, mengelola kekayaan bumi demi generasi kini dan nanti. Tapi kini, tanah diambil, suara dibungkam, dan hidup dikorbankan demi apa yang disebut “pembangunan”.
Maka, dalam hingar-bingar seremoni kemerdekaan, marilah kita merenung sejenak: Apakah rakyat di Halmahera, Maluku Utara, dan di banyak sudut negeri ini, sungguh telah merdeka. Apakah arti merdeka masih utuh, bila tanah hilang, dan martabat pun ikut ditanggalkan?
Sebab kemerdekaan sejati bukanlah hanya tentang lepas dari penjajah asing,
melainkan juga bebas dari penindasan oleh tangan sendiri. Selama masih ada yang digusur dari tanah kelahiran, selama ruang hidup masih dihancurkan demi kepentingan segelintir, maka perjuangan menuju kemerdekaan sejati belumlah selesai.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.