SETIAP membuka buku sejarah, kita mengetahui tahun-tahun yang menentukan. Kita kadang membuat garis yang memudahkan dalam membaca atau mengingat sejarah. Garis itu seolah mengandung “persamaan” atau “pengulangan”.
Kita tentu tidak ingin terlalu percaya dengan bab-bab sejarah yang sudah disampaikan pemerintah dan pelbagai pihak. Pada saat ingin mengerti sejarah, kita biasa mendapat gangguan-gangguan untuk sampai yang “benar”. Di Indonesia, sejarah memang tidak sekadar terbitnya ratusan atau ribuan buku tapi kesanggupan untuk mengerti dan melihat garis yang diributkan atas nama “kebenaran”, “kekuasaan”, “biografi”, dan “modal”. Apakah semua itu bakal berkaitan dengan keinginan Fadli Zon segera mempersembahkan buku sejarah (resmi) nasional berjilid-jilid sebelum 2025 berakhir?
Kita membuka buku MC Ricklefs yang berjudul Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005). Di situ, terbaca sejarah berlatar 1998 yang berapi: “Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik. Kematian mereka, bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi, telah memorak porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Kerusuhan massal terjadi di berbagai tempat. Jakarta dan Surakarta (Solo) yang terparah. Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan.”
Ada hal-hal yang belum ditulis oleh Ricklef mengenai sejarah yang berapi. Kita ikut mengingat 1998 itu api. Pengertian api adalah pembakaran yang membuat kota-kota merana dan “api” bisa berarti perlawanan tak padam demi perubahan-perubahan di Indonesia. Bagaimana api dan “api” terus berada dalam garis sejarah Indonesia, sejak ratusan tahun lalu?
Kita yang selalu berduka dengan api yang membakar Indonesia kadang memilih di pinggiran dulu untuk duduk menikmati fiksi. Di gubahan sastra, kita merenungkan api yang berbeda meski ada yang segera mengarah ke politik. Tokoh dalam novel berjudul Petals from the Sky (2010) gubahan Mingmei Yip merasakan keanehan saat melihat api yang membakar kuil. Yang dinyatakan: “Aku tahu jahat sekali bila menganggap api itu indah di tengah bencana. Namun, aku merasa begitu. Gerakannya yang cepat, warna yang kuat, dan bau yang tajam mengingatkanku akan lukisan Zen yang kuat, tempat pelukis menumpahkan tinta di atas kertas untuk melukai jiwanya dan membebaskan rohnya… Api itu mengerikan sekaligus menarik.” Latar cerita tidak di Indonesia. Kita sempat diajak mengimajinasikan api menjauh dari kisruh kekuasaan dan keserakahan kaum modal.
Kita mendapatkan api yang berbeda saat membaca puisi gubahan Raudal Tanjung Banua (2000) yang berjudul “Kami Melihat Api”. Puisi yang mengingatkan mesti bukan bermaksud sebagai sumber sejarah mengenai Indonesia. Yang ditulis: kami melihat api/ dari lorong kampung yang sunyi// malam hari, mata tak bisa pejam/ mimpi jadi teramat menakutkan// mimpi itu: mengalir di jalan-jalan/ jalan-jalan itu: membelit dan melingkar/ di jantung-hati kota Jakarta// di sini kami berdiri/ terjaga dari mimpi, dari sunyi// dan tiba-tiba api telah mengepung kami/ liar, seperti lidah-lidah lonceng kenangan/ dari mana kami meninggalkan dan ditinggalkan. Pada masa-masa yang berbeda, mengingat Jakarta adalah mengingat api. Kota yang berapi dalam beragam kepentingan tapi yang terkuat untuk membarakan adalah politik.
Padahal, kota yang berapi tidak hanya Jakarta. Sejak lama kita terbiasa mendapat berita tentang api di pelbagai kota. Api yang bersumber politik. Api yang berhitung untung-rugi dalam bisnis. Api yang berdasarkan gejolak iman. Namun, api yang pernah menyengsarakan dan memalukan Indonesia adalah api di hutan.
Kita lanjutkan membaca puisi Raudal Tanjung Banua: ya, kami telah melihat api dari dekat/ di ibukota negeri ngeri ini/ tempat orang-orang berbahasa dengan api/ berlari dengan api, bermain dengan mimpi, di jalan-jalan/ di pasar-pasar, di siang dan sepanjang malam. Yang ditulis itu menetapkan sejarah Indonesia dan nasib kota-kota dipengaruhi api.
Beberapa hari yang lalu, Agustus adalah bulan berapi. Sebenarnya, jutaan orang sedang membuat peringatan untuk 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Pada masa silam, Soekarno terbiasa berpidato menggunakan diksi api demi revolusi, kedaulatan, dan kemuliaan Indonesia. Api itu demi kebaikan, bukan kehancuran. Pada situasi berbeda, api-api malah menghancurkan revolusi. Pada babak yang berbeda, api ikut menentukan kejatuhan rezim Orde Baru.
Kita pun mengalami Agustus yang berapi. Di Jakarta dan pelbagai kota, api tampak membara yang terlihat dalam beragam tayangan di media sosial dan televisi. Kita tidak sedang berhadapan dengan novel atau puisi. Yang kita lihat adalah api yang menghancurkan, memusnahkan, dan mematikan.
Api-api yang disulut akibat omongan, kebijakan, dan ulah kalangan legislatif dan eksekutif. Api itu makin membara setelah kejadian kendaraan milik kepolisian melindas pengemudi ojol, 28 Agustus 2025. Api cepat terlihat di Indonesia. Api yang mengandung marah, benci, sesalan, kecewa, hinaan, bingung, angkuh, dan duka. Sejarah di Indonesia sedang disusun lagi dengan api. Apakah kita meyakini ada “pengulangan” seperti api-api pada masa lalu?
Di situasi dan kepentingan berbeda, kita membaca puisi gubahan Afrizal Malna (1997) berjudul “Konser Api Rangitunoa Black”. Kita yang membaca puisi sambil menanti kejelasan atas pelbagai kejadian berapi di kota-kota yang terjadi akhir Agustus 2025. Di depan puisi Afrizal Malna, kita malah mendapat “ketidakjelasan” tapi menuntun memberi tafsir atas pengimajinasian api. Afrizal Malna menulis: api mulai melepaskan pakaianku, pakaian/ dalamku, jam sembilan malam nanti, api, api/ mulai melepaskan tulangku, di bawah dagingku/ di bawah cairan otakku, jam sembilan malam/ nanti, api, aku ingin memanggilmu dengan/ mulut api, mata api, tangan api, langkah-langkah/ api, aku akan memanggilmu, jam sembilan/ malam nanti, api.
Puisi yang tidak harus menjadi referensi dalam penulisan sejarah berapi di Indonesia, terutama 1998 dan 2025. Api-api dalam sejarah masih membingungkan untuk mengetahui pihak-pihak yang salah dan duka-duka yang tak bisa ditebus semuanya.
Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.