HARI-HARI ini kita berada dalam suasana kebangsaan yang tak menentu. Agustus yang lewat menyisakan banyak persoalan: sejak gejolak 28 Agustus, bulan kemerdekaan ternyata tidak ditutup dengan kebahagiaan, melainkan dengan kegetiran. Tapi hari-hari ini juga kita berada dalam suasana kegembiraan: kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Esai ini hendak melihat Sang Nabi agung itu dalam perspektif yang sesungguhnya sangat klasik, mungkin juga kuno bagi sebagian kalangan. Namun justru karena itulah ia penting dimaknai kembali.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali bin Abi Thalib pernah menjelaskan kepada seorang Yahudi bahwa setiap huruf hijaiyah adalah nama Allah. Alif, katanya, adalah Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Mim adalah Malik ad-dunya wa al-akhirah, Pemilik dunia dan akhirat. Ha adalah Al-Haqq, Yang Mahabenar. Dal adalah Dayyan, Raja di Hari Pembalasan. Huruf-huruf yang kita kenal sebagai fonetik ternyata adalah pintu menuju nama-nama Tuhan.
Maka, jika kita mendekati nama Sang Nabi—Ahmad, Muhammad—kita juga sedang menyingkap rahasia huruf-huruf itu. Ahmad: alif, ha, mim, dal. Muhammad: mim, ha, mim, dal. Dan dari keduanya mengalir kata yang kita ucapkan setiap hari, al-hamdu, “segala puji.” Seakan nama Sang Nabi adalah gema dari pujian itu sendiri. Ia bukan hanya penerima, tapi juga pancaran dari al-hamd yang kita panjatkan.
Kita ingat Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah Huruf-huruf, katanya adalah tajalli: wujud ilahi yang menampakkan diri dalam garis, lengkung, titik. Kita mengira huruf hanya tanda bunyi. Padahal setiap huruf adalah kosmos. Alif bukan hanya garis tegak, ia tauhid yang berdiri tunggal. Mim bukan sekadar bulatan tertutup, ia simbol Sang Raja yang tak akan hancur. Lam menghubungkan keduanya, seperti jembatan antara Yang Mutlak dengan makhluk yang fana.
Di sinilah letak keistimewaan bahasa Arab. Tuhan memilih menurunkan wahyu dengan huruf-huruf ini, yang setiap lekukannya menyimpan rahasia. Dalam bahasa lain, mungkin kata hanyalah kata. Tapi dalam bahasa Arab, kata adalah tubuh cahaya.
Kita tahu, Qur’an bukan hanya teks yang bisa diterjemahkan begitu saja: ia adalah irama, denting, getar, bahkan rupa huruf-huruf yang ditulis di mushaf.
Dan justru karena itulah, huruf-huruf muqaththa‘ah di awal surah sebut saja, alif lam mim, ha mim, nun, qaf menjadi misteri. Para mufassir mengakuinya dengan rendah hati: “Allahu a‘lam bi muradihi.” Allah lebih tahu maksudnya. Tapi para arif, mereka yang mendapat ketersingkapan, membaca huruf-huruf itu sebagai rahasia kosmik. Alif lam mim, kata Ibn ‘Arabi, adalah bintang yang memuat ilmu dzat, sifat, perbuatan, dan ciptaan.
Hari ini, ketika kita merayakan maulid Nabi, gema pujian itu kembali terdengar di banyak tempat. Kita mendengar barzanji, qasidah burdah, dan shalawat yang dilantunkan dalam berbagai bentuk. Semuanya adalah ikhtiar manusia untuk menyentuh cahaya Sang Nabi lewat huruf, kata, dan pujian.
Tetapi di sela-sela gema itu, ada kontras yang menyesakkan. Kita tahu, Sang Nabi hidup dengan tikar kasar, bahkan kadang tak ada makanan di rumahnya. Padahal kedudukan dan derajatnya jauh lebih tinggi dari sekadar anggota DPR, atau pejabat mana pun di negeri ini.
Namun di negeri ini, ada yang mengaku pemimpin tapi sibuk memamerkan kekayaan. Kontras itu membuat kita bertanya: siapa yang sebenarnya kita teladani?[]
Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.