DI AWAL September ini, sebuah istilah lama kembali muncul di ruang publik: Pam Swakarsa. Generasi Muda FKPPI, sebuah organisasi yang sejak lama dekat dengan TNI, menyatakan siap menindaklanjuti instruksi Aster Panglima TNI untuk melaksanakan pengamanan swakarsa di seluruh Indonesia. Surat resmi bertarikh 1 September 2025 itu bahkan memuat perintah bagi pengurus daerah agar segera berkoordinasi dengan jajaran TNI setempat.

Alasannya, menurut TNI, sederhana: kekompakan masyarakat yang belakangan terlihat efektif menghalau potensi kerusuhan di beberapa kota perlu dilembagakan. Maka yang tadinya spontan, diupayakan untuk menjadi struktur. Apa yang awalnya lahir sebagai solidaritas warga, diangkat ke dalam format instruksi.

Di sinilah kata “swakarsa” kembali menampakkan paradoksnya—antara tekad yang tumbuh dari bawah, dan kehendak yang diarahkan dari atas. Dan teranglah bahwa Pam Swakarsa tidak menjawab akar masalah yang melahirkan gejolak sejak 28 Agustus itu. Ia tampak lebih sebagai reaksi ketakutan negara, mengedepankan pengamanan ketimbang memahami tuntutan atau mengatasi ketidakadilan yang mendasarinya.

Baca Juga:Fiat ke Fitrah

Kita tahu, swakarsa, dari akar Sanskerta swa, diri dan karsa, kehendak. Maka ia seharusnya berarti tekad yang lahir dari batin sendiri. Sebuah keputusan yang tidak dipinjam dari siapa pun, tidak digerakkan oleh tangan lain, selain dari kesadaran warga yang merasa dirinya bagian dari tanggung jawab bersama.

Dalam makna asalnya, “swakarsa” adalah nama lain dari kewargaan yang sehat. Bayangkan seorang warga desa yang tanpa disuruh ikut ronda, seorang tetangga yang menjaga rumah orang lain karena merasa itu bagian dari tugasnya, atau sebuah komunitas yang berinisiatif merawat lingkungannya. Inisiatif lahir dari bawah, dari kesadaran. Itu bentuk paling sehat dari civic virtue: kebajikan warga yang tumbuh organik, bukan dipaksakan.

Namun dalam sejarah kita, “swakarsa” pernah kehilangan arti itu. Ia berubah menjadi sesuatu yang berbeda: kehendak rakyat dibelokkan menjadi kehendak penguasa. Kata yang semestinya merdeka justru dipakai untuk mengikat.

Ketika “swakarsa” diorganisasi, diberi struktur, apalagi lewat instruksi dari atas, makna aslinya tereduksi. Ia bukan lagi self-will, melainkan delegasi dari kuasa yang lebih besar. Swakarsa yang mestinya organik berubah menjadi instrumental. Sejarah 1998 mencatat bagaimana Pam Swakarsa, alih-alih menjadi wujud inisiatif warga, justru tampil sebagai perpanjangan tangan kekuasaan menghadapi gerakan mahasiswa.

Di titik inilah bahaya muncul. Mentalitas warga tidak terbentuk dari kesadaran, melainkan dari perintah. Warga kehilangan refleks untuk merasa bertanggung jawab secara otentik. Budaya inisiatif bisa mati, karena setiap gerak selalu menunggu “aba-aba” dari luar. Politisasi massa menjadi mudah, sebab yang disebut “swakarsa” ternyata tidak benar-benar swa, melainkan bisa digerakkan lewat instruksi.

Akibatnya, masyarakat tidak lagi berdiri sebagai subyek otonom. Mereka menjadi obyek yang siap digerakkan ke sana kemari sesuai kepentingan politik. Swakarsa, yang semula berarti kedaulatan kehendak, berubah menjadi kata yang menutupi dominasi.

Di sini kita belajar, kata bisa berbahaya. Kata bisa diperalat. Kata yang seharusnya luhur dapat dijadikan alat penjinakan. “Swakarsa” memberi pelajaran tentang bagaimana bahasa sering kali lebih licin daripada niat. Ia bisa membawa idealisme, tapi juga bisa memanggul instruksi.

Maka, bila hari ini istilah itu kembali digemakan, kita perlu waspada. Apakah ia benar-benar akan menghidupkan kesadaran warga? Atau hanya mengulang sejarah: sebuah kehendak yang seolah lahir dari bawah, padahal berasal dari atas?

Dengan begitu, swakarsa bila dipahami secara murni, adalah ruang bagi masyarakat untuk menjadi tuan atas dirinya sendiri. Tetapi bila dipahami sebagai alat, ia menjadikan masyarakat sekadar kepanjangan tangan penguasa.

Baca Juga:Pemerintah!

Padahal, swakarsa sebagai kehendak organik warga adalah sesuatu yang berbeda. Ia tumbuh dari rasa memiliki lingkungan, dari ikatan tetangga, dari solidaritas harian. Tidak ada aba-aba atau instruksi. Hanya dorongan menjaga karena merasa bagian dari yang lain.

Lagi-lagi sebelum kita terlanjur mengulang sejarah yang getir, perlu diingat kembali arti kata itu sendiri. Swa—diri. Karsa—kehendak. Ia tak butuh instruksi, tak memerlukan struktur. Ia lahir dari kesadaran warga yang menjaga lingkungannya karena merasa bagian dari yang lain.

Mungkin, sudah cukup tanda tanya pada “Pam Swakarsa?”. Yang kita perlukan hanyalah swakarsa itu sendiri, murni. Seperti kata Presiden—aspirasi murni—tanpa pam. Tanpa komando.[]

Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur.