PADA suatu masa, Solo bercerita tokoh-tokoh yang menjadi menteri. Kita ingin mengenang mereka yang memiliki cerita-cerita unik ketimbang mengingat Solo adalah kota asal dari sosok yang pernah berkuasa di Indonesia, selama 10 tahun. Dua nama yang wajib dikenang meski pengetahuan kita masih terbatas: Maladi dan Sutami.

Yang kuliah di UNS atau sering dolan ke Solo mengetahui ada Jl Sutami. Tokoh itu dihormati melalui penamaan jalan. Cara yang kadang menimbulkan prihatin dan ironi. Ribuan mahasiswa UNS yang melintasi jalan di depan kampusnya dipastikan tidak mengenal Sutami. Mereka sekadar mengendarai sepeda motor atau tampil keren di mobil tanpa perlu mengetahui tokoh yang bernama Sutami. Jalan yang ramai tidak mengharuskan orang-orang merenung tokoh dan persembahannya untuk Indonesia.

Tokoh asal Solo itu sering teringat sebagai menteri yang mustahil gemuk. Penampilannya sederhana dan tampak kurus. Yang membuat kaget, Sutami mengidap kurang gizi. Ia hidup dalam masa belum ada janji termuluk tentang “makan bergizi”. Sutami memilih bekerja tanpa perlu mengucap sebanyak tiga kali: “kerja, kerja, kerja”. Tanggung jawab besar dibuktikan dalam mengurusi waduk dan bangunan yang misinya membuktikan Indonesia bisa maju. Menteri yang menyadari hikmah pembangunan nasional tapi sempat mengerti percik revolusi.

Pada masa sebelum Sutami mewujudkan pengabdian, Indonesia memiliki tokoh asal Solo yang unik. Ia bernama Maladi. Yang dilakukan adalah kerja dan pembuktian tanggung jawab sebagai menteri saat Indonesia bertema revolusi. Pada mulanya, ia menjadi menteri penerangan. Pada akhirnya, ia malah berubah posisi menjadi menteri olahraga. Namun, babak-babak sebelum turut dalam kerja pemerintahan Soekarno, Maladi kondang sebagai penjaga gawang. Ia memang bintang sepak bola Indonesia masa lalu.

Di majalah Tempo, 9 Desember 1978, kita mendapatkan pengisahan yang berbeda. Maladi adalah penggubah lagu. Kita bisa menyebutnya seniman tapi Maladi mengaku bukan komponis. Lagu terkenal yang dicipta adalah “Solo di Waktu Malam” dan “Di Bawah Sinar Bulan Purnama.” Yang tertulis di majalah: “Dalam mencipta lagu, anehnya Maladi tidak dibantu oleh peralatan musik sebagai jamaknya banyak pencipta. Dia tidak mempergunakan piano, gitar, atau alat apapun. Pertama kali dia menciptakan liriknya dahulu. Menyusul notasi yang disesuaikan dengan lirik. Melodinya diambil dari perasaan yang muncul pada judul lagu.”

Kita tetap mengakui Maladi adalah seniman yang tangguh sebagai penjaga gawang. Seniman yang memiliki tugas-tugas besar saat menjadi menteri. Penghormatan untuk Maladi adalah penamaan stadion, yang oleh masyarakat Solo telanjur mengenalnya Stadion Sriwedari.

Pada masa yang berbeda, Indonesia memiliki tokoh yang menunaikan tugas menjadi menteri mengurusi pendidikan dan kebudayaan tapi memiliki keistimewaan. Ia gandrung biola. Sosok yang memiliki kepekaaan estetika. Menteri yang bernama Fuad Hassan itu mahir memainkan biola, selain memiliki ketekunan dalam sastra.

Fuad Hassan bekerja dengan “majikan” Soeharto. Menteri yang ketagihan merokok itu dianggap pilihan yang aneh saat Soeharto membuat kabinet, setelah bertahun-tahun berkuasa. Pada babak awal bekerja, Fuad Hassan sering mendapat nasihat agar berhenti merokok. Ia malah pernah mendapat surat dari murid mengenai kehormatan menteri yang menggurusi pendidikan dan rokok. Kita bayangkan bila itu terjadi pada abad XXI bakal memicu kehebohan di media sosial.

Di majalah Tempo, 20 Maret 1993, kita membaca artikel pendek berjudul “Perubahan di Balik Gesekan Biola.” Yang ditampilkan adalah foto menteri yang mengenakan jas dan dasi sedang memainkan biola. Sosok yang cakep dan penikmat keindahan. Ia membuat pelbagai kebijakan selama menjadi menteri dengan penerimaan dan penolakan. Ada yang memuji dan memaki. Banyak perubahan terjadi.

Di Tempo, kita membaca: “… perubahan yang terjadi selama delapan tahun Fuad Hassan berkantor di Departemen P dan K. Kini yang tampaknya tak berubah pada diri Fuad Hassan adalah gesekan biola yang sering mengalun dan kepulan asap rokoknya yang tak kunjung berhenti.”

Selesai sebagai menteri, orang-orang menghormatinya dan memiliki kenangan-kenangan yang mengesankan. Ia boleh teringat dengan biola dan rokok. Pada masa yang berbeda, beberapa orang kangen memiliki menteri seperti Fuad Hassan.

Namun, Indonesia justru memiliki kejutan saat Joko Widodo berkuasa. Ia menunjuk tokoh menjadi menteri yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan tanpa latar belakang yang mumpuni. Menteri itu membuat kebijakan-kebijakan menimbulkan polemik dan pelaksanaan yang pelik. Sekian hari lalu, ia tidak lagi menjadi menteri tampil di televisi dengan pakaian aneh dan tangan diborgol.

Kini, kita juga kangen sosok menteri yang sederhana tapi punya pemikiran-pemikiran yang besar. Yang bikin kangen bertambah adalah sosok itu memiliki jiwa seni, yang sudah diwujudkannya sejak mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (1922) di Jogjakarta. Ia pun bersahabat dengan Rabindranath Tagore (India). Menteri itu bernama Ki Hadjar Dewantara. Ia menjadikan tembang, tari, sastra, dan gambar menjadi rangsang penting dalam pendidikan dan pengajaran.

Kita membuka buku bersampul warna hijau berjudul Ki Hadjar Dewantara: Ayahku (1989) susunan Bambang Sokawati Dewantara. Kita mendapat kenangan yang mengharukan dari tokoh yang ikut menentukan pembentukan dan pemuliaan Indonesia. Bambang Sokawati Dewantara bercerita: “Pada hari Minggu (Pon), 19 Agustus 1945, bapak berangkat pagi-pagi dari rumah dan pulang larut malam.

Hari itu pemerintah Republik Indonesia terbentuk dengan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Menteri-menteri pun telah ditetapkan dan diangkat. Bapak ditetapkan menjadi menteri pengajaran. Sekalipun larut malam itu bapak pulang dalam keadaan lelah, ia tak meninggalkan kebiasaan untuk menceritakan segala hal yang terjadi dan dialaminya….”

Malam itu istimewa tapi sederhana. Yang terjadi: “Dan untuk memperingati pelantikan bapak sebagai menteri pengajaran yang pertama, ibu memberikan kepadaku uang f 2 dengan perintah kalau ada tukang bakmi lewat, sebaiknya bapak dibelikan bakmi.” Pesta kecil mau diselenggarakan dengan menu bakmi.

Adegan yang lucu dan mengharukan: “Ketika itu aku lihat bapak memang lelah dan lapar. Ibu pun kiranya mempunyai kesan yang sama. Maka, ia pun berkata: “Untuk Yang Mulia Menteri Pengajaran kali ini bakmi boleh dihabiskan.” Kita membayangkan suasana keluarga yang seru. Ki Hadjar Dewantara bukan manusia serakah. Bakmi tidak dihabiskan sendirian. Ia menyodorkan kepada anaknya agar ikut makan. Ia mengerti anaknya suka melek malam. Malam itu lelah sekaligus indah. Malam untuk menteri yang tidak kepikiran duit 12 karung, mobil mewah, atau rumah senilai miliaran rupiah.

Kita cukup mengenang beberapa menteri. Kenangan jangan dirusak dengan mengamati dan menilai menteri-menteri masa sekarang. Kita memilih bersandar pada kenangan saja. Masa lalu itu masih bisa dihidupkan lagi tanpa harus bersaing dengan pemberitaan heboh gara-gara sikap dan omongan para menteri yang ditunjuk Prabowo Subianto. Kenangan yang terbaca lagi di majalah dan buku lama itu sejenak membuat kita merasa mengerti Indonesia. Padahal, kita terlalu “sulit” bahagia di Indonesia bila sehari-hari sibuk memikirkan presiden dan menteri.


Kabut merupakan seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia