Dugaan pelanggaran dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bobong senilai Rp173 miliar yang dikerjakan PT Wijaya Karya (WIKA) semakin mencuat.

Proyek yang berlokasi di Alun-Alun Kota Bobong tersebut disinyalir belum mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG).

Pantauan di lapangan juga menunjukkan tidak adanya papan informasi terkait PBG yang seharusnya dipasang sebagai bentuk keterbukaan publik.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Aliansi Pemuda Peduli Taliabu (AP2T), Sauti Jamadin, menyayangkan ketiadaan papan informasi proyek dan PBG di lokasi pembangunan. Ia menilai hal ini menguatkan dugaan bahwa proyek belum memenuhi persyaratan administratif.

“Setiap proyek wajib memasang papan informasi sebagai bentuk transparansi. Jika tidak ada, publik patut mencurigai legalitas proyek, apakah PBG-nya benar-benar sudah ada atau belum,” tegas Sauti, Kamis, 18 September 2025.

Ia menambahkan, ketentuan pemasangan papan proyek dan plang PBG merupakan amanat regulasi. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung, disebutkan bahwa setiap pembangunan harus memiliki PBG sebagai syarat administratif.

“Pasal 24 PP 16/2021 menegaskan bahwa setiap bangunan wajib memiliki PBG, dan Pasal 115 menyebutkan bahwa pelanggaran dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara, pencabutan izin, pembongkaran, hingga denda,” jelasnya.

Lebih jauh, Sauti juga mengutip UU No. 28 Tahun 2002 Pasal 46 yang menyebutkan pelanggaran terkait izin bangunan bisa berujung pidana kurungan tiga bulan atau denda hingga Rp50 juta. Selain itu, Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga mewajibkan keterbukaan informasi, termasuk pemasangan papan proyek.

Sauti mendesak instansi teknis segera turun ke lapangan untuk memastikan keabsahan proyek tersebut.

“Kalau papan informasi saja tidak ada, bagaimana masyarakat bisa melakukan pengawasan? Kami minta proyek ini dihentikan sementara hingga izin dan PBG dipastikan ada,” ujarnya.

Ia juga mendorong DPRD Pulau Taliabu untuk memanggil pihak PT WIKA dan dinas terkait guna memberikan klarifikasi secara terbuka.

“DPRD dan dinas teknis harus ambil sikap tegas. Jangan hanya menekan masyarakat kecil dalam urusan izin bangunan, sementara proyek besar seperti ini bisa lolos tanpa izin,” kritiknya.

Menurut Sauti, lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah memunculkan banyak tanda tanya. Seharusnya, proyek sebesar ini telah diverifikasi penuh melalui SIMBG untuk menjamin aspek teknis, keselamatan bangunan, dan potensi retribusi daerah.

“Bayangkan, retribusi yang seharusnya masuk kas daerah bisa saja hilang. Ini bukan semata-mata soal administrasi, tapi potensi kerugian keuangan daerah. DPRD harus segera bertindak,” katanya.

Pihaknya mengaku akan terus memantau perkembangan proyek tersebut, apalagi laporan dugaan pelanggaran juga datang dari masyarakat.

“Proyek bernilai ratusan miliar rupiah, tapi terindikasi tak melalui prosedur perizinan resmi. Ini bentuk pembangkangan terhadap regulasi,” tegasnya.

Sauti menilai bahwa setelah diberlakukannya PP No. 16 Tahun 2021, tidak ada alasan bagi instansi terkait untuk lalai dalam pengawasan.

“Ini proyek Rp173 miliar. Kalau benar tidak memiliki PBG dan belum terdaftar di SIMBG, ini bukan hanya kesalahan administratif, tapi sudah masuk kategori pelanggaran serius,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Pulau Taliabu, Budiman L. Mayabubun, saat dikonfirmasi menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti dugaan ini.

“Saat ini kami masih dalam masa reses dan penutupan sidang, jadi belum bisa turun ke lapangan. Namun kami akan segera konfirmasi ke pihak PT WIKA dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu. Jika perlu, kami akan turun langsung,” ujarnya singkat.